Mohon tunggu...
sukma wanto
sukma wanto Mohon Tunggu... -

agak malu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jihad yang Bukan 'Jihad'

27 Juli 2016   09:13 Diperbarui: 27 Juli 2016   09:21 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kata ‘jihad’ berasal dari bahasa Arab, yaitu ‘juhd’جهد) ) yang artinya usaha atau kerja keras. Kata ini sebenarnya adalah bentuk khiasan untuk ‘perang agama’, yaitu suatu pertempuran batin manusia sepanjang hidupnya dalam menaklukkan nafsu hewani-nya agar bisa dikendalikan oleh aturan Syariat Islam.  Kata inipun memiliki kesamaan dengan kata ‘yudh’ (युद्ध) dalam bahasa Hindi, yang artinya perang. Nampaknya telah terjadi penyimpangan arti dari bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab, ke dalam bahasa serapan Hindi, sehingga kata ‘jihad’ itu telah disalah-artikan menjadi ‘perang’ oleh pengguna bahasa Hindi. 

Keterangan ini relevan dengan fakta dan data sejarah yang diungkap oleh Prof. Oliver Roy, seorang ahli ilmu politik dan ahli sejarah Persia dari Perancis, yang menyebut bahwa kata ‘jihad’ yang diartikan sebagai perang dengan tujuan untuk memperjuangkan ide politik dan merebut kekuasaan itu muncul di kawasan Asia Selatan khususnya di kalangan masyarakat Pusthun yang ada di perbatasan India-Pakistan dan juga  Afghanistan. Prof. Oliver Roy dalam karyanya yang berjudul Islam in The Afghan Resistance mengungkapkan bahwa masyarakat Afghanistan telah menggunakan istilah ‘jihad’ sebagai perang dalam setiap aksi peperangan yang mereka lakukan, termasuk peperangan untuk menuntut kemerdekaan.

Suku Pusthun sendiri merupakan suku yang populasinya banyak tersebar di India, Pakistan dan Afghanistan. Mereka dikenal sebagai salah satu suku yang paling loyal menjaga tradisi, etika atau adat istiadatnya yang dikenal dengan nama ‘Pasthunwali’

Suku asli Pushtun sering digambarkan sebagai orang yang sangat bebas. Mereka telah menghuni wilayah Pashtunistan (sebelah timur Afghanistan dan utara Pakistan) setidaknya sejak 1 milenium SM. Mereka tinggal di pegunungan-pegunungan yang berada di luar aturan atau kontrol pemerintah yang berkuasa. Faktor inilah yang menyebabkan Pasthunwali lestari di masyarakat suku Pusthun selama ribuan tahun.

Pasthunwali adalah sistem hukum atau aturan hidup bagi suku Pusthun yang sudah ada sejak jaman prasejarah. Hingga kini Pasthunwali masih dipegang dan digunakan terutama di pedesaan daerah kesukuan. 

Dalam prakteknya, suku-suku Pusthun yang banyak memeluk agama Islam, mengasimilasi antara Pasthunwali dengan Syariat Islam, sehingga muncul aneka laku yang diklaim sebagai Syariat Islam, namun sesungguhnya merupakan tradisi Pasthunwali.    

Istilah ‘jihad’ yang diartikan sebagai perang ini, pertamakali ditemukan dalam sebuah gerakan politik yang dipimpin Sayyid Ahmad Barelwi, seorang keturunan suku Pusthun yang lahir di Uttar Pradesh, India, pada tahun 1786, dalam upayanya menuntut kemerdekaan dari Kerajaan Sikh yang telah berlaku kejam terhadap masyarakat Muslim saat itu.

Sayyid Ahmad Barelwi, yang telah disepakati oleh para ulama Islam sebagai Mujaddid Abad ke-13, menggunakan kata ’jihad’ untuk menimbulkan semangat juang masyarakat Muslim India yang sedang mengalami penindasan dari pemerintah Kerajaan Sikh pimpinan Raja Ranjit Singh. 

Menurut Olivier Roy, Sayyid Ahmad Barelwi adalah orang pertama yang menyadari perlunya sebuah gerakan agama yang dipadukan dengan militer dan politik dalam melawan pemerintahan kejam Kerajaan Sikh. Seruannya itu menjadikannya sebagai orang pertama non kepala suku tradisional yang mengajak masyarakat Muslim dari suku Pusthun untuk berperang. Target pertamanya adalah mengalahkan Kerajaan Sikh yang dipimpin oleh Ranjit Singh, yang saat itu kekuasaannya semakin meluas dan mulai memasuki tanah Afghanistan. 

Salah satu tradisi Pasthunwali adalah Nyaw aw Badal (Keadilan dan balas dendam). Tradisi ini dijalankan guna mencari keadilan atau mengambil tindakan balas dendam kepada pelaku atas nama korban yang merupakan bagian dari anggota suku Pusthun. Tidak ada batas waktu membatasi periode di mana balas dendam dapat diambil. 

Keadilan dan balas dendam dalam pandangan seorang Pushtun bisa ditegakan pada sebuah ejekan (atau "Peghor / پېغور") sekalipun. Ejekan itu bisa dianggap sebagai penghinaan yang biasanya hanya dapat bayar dengan mencurahkan darah pencemooh itu. Jika dia berada di luar jangkauan, kerabat laki-laki terdekatnya harus menderita hukuman sebagai gantinya. Bayangkan jika keadilan dan balas dendam itu ditegakkan atas nama sebuah kasus pembunuhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun