Anindita
Anindita wanita kuat. Bukan karena ia tak pernah terluka atau menangis. Justru ia bisa menemukan kekuatan barunya dari luka dan air mata yang pernah mengisi hari-harinya.Â
Dewasa, begitulah ia digambarkan. Meskipun otaknya diperas, hatinya ditikam, jam tidumya tak beraturan, moodnya berantakan, tapi bibirnya selalu ia paksa untuk tersenyum lebar. Menyakitkan bukan?
"Jadilah kuat", pernyataan itu sering Anindita dengar. Nyatanya itu terlalu mudah diucapkan namun susah dilakukan. Mendengar orang lain melontarkannya, rasanya hanya menambah sesak di dadanya dan membuatnya muak. Tapi itulah kenyataannya. Ia tidak boleh belama-lama sesenggukan dalam lukanya. Ia harus bergerak ke luar untuk menjauh, tak peduli apakah harus berlari, berjalan atau bahkan merangkak.
Kata orang, "butuh hati yang kuat untuk berani mencintai". Nyatanya hati yang lebih kuat lebih dibutuhkan untuk tetap mencintai setelah dilukai. Memang butuh waktu lama untuk menyembuhkan hati setelah dilukai, dan butuh proses yang rumit untuk pulih kembali.
Anindita paham defenisi kerasnya hidup. Ia bilang bahwa hidup kadang akan mengejutkanmu dengan menghadapkanmu pada cerita diluar dugaan. Jalan yang sudah dipilih bisa saja membelokkanmu ke arah yang tak terduga.Mimpi besar yang dulunya pernah dipeluk erat sekarang harus dilepaskan, dan keadaan akan memaksamu mengambil pilihan baru yarng akhirnya pun tidak kamu ketahui.
Anindita kadang sering melamun, memikirkan dan menangisi langkah yang telah ia
ambil dahulu. Sesekali ia membandingkan hidupnya dengan teman seusianya yang kini
sedang menikmati manisnya madu kehidupan. Pada akhimya ia akan bergumam " toh
aku juga yang dulu memilih racun ini"
Hidup memang penuh teka teki untuk dinanti,dan penuh dengan tanda tanya bila direnungkan. la bukanlah seperti air yang dengan sendirinya mengalir. Karena ia terlalu
mahal jika dibiarkan seperti itu. Kenyataannya, hanya ikan mati yang terus mengikuti
air yang mengalir.
Anindita Sangat menyukai hujan. Ia seingkali duduk membisu menikmati jatuhnya setiap tetes sumber kehidupan itu dari atas sana. Bibirnya memang diam, tapi pikirannya sedang berkecamuk. Kadang la bijak berkata setelahnya bahwa hujan
akan memperlihatkan kepadamu hakikat kehidupan. Ada proses yang sangat panjang
disana, tugas yang diemban untuk rangkaian tujuan mulia. Ada luka yang harus
diperjuangkan disana. Luka atas pertengkaran terhadap sebuah perdebatan
alam. Mendung, guruh dan halilintar.
Anindita, Ia pemah hidup baik-bak saja dulunya. Rumah dan keluarga yang hangat
menyambutnya setiap kali pulang dari sekolahnya, teman-teman manis yang seringkali
membuat tawanya pecah, dan prestasi gemilang yarng menuai banyak pujian. Terlalu
sempurna hidupnya saat itu. Namun ternyata pemilik semesta punya jalan cerita lain
dalam bukunya. Semua terlalu manis sebelum Ia mengenal seseorang yang merubah
warnaa cerita ini. Seorang pria yang datang dengan semua janji kesempunaan.
Seseorang yang dulunya pernah membuat pelangi bahkan terlihat lebih indah di mata
Anindita. Alampun seolah mendukung cerita. Keduanya temyata sama-sama memiliki
rasa. Tanpa Anindita sadari, temyata seseorang yang datang lembut membelai benih
denyut sukmanya adalah orang yang juga menghancurkan indah jalan
centanya. Seseorang yang memandang Anindita derngan indah bola matanya adalah
orang yang sama dengan yang menumpahkan racun pahit yang kelak mencekiknya.
Berandalan itu, .begitu ia menyebutnya sekarang. Ia pergi meninggalkan Anindita dengan lukanya, setelah merenggut semua kemuliaan yang Anindita jaga. Saat itu,angin malam seakan memainkan perannya, .berpura-pura dan beralasan bahwa cinta dan perjuangan akan menyambut Anindita esok paginya. Nyatanya, saat ia bangun, Ia ditinggal. Seseorang yang menjanjikannya keindahan malah lari dengan semua gelar pecundang yang Anindita sandangkan kepadanya. Meninggalkan anindita dengan dua malaikat kecil di perutnya. Iya,malaikat itu dua.
Saat itu kondisinya tertekan. Ia ingin menyalahkan, tapi siapa orangnya ? Perasaannya campur aduk, mulai dari dari menyalahkan dirinya sendiri, ketakutan bahkan perasaan ingin menghilangkan apa yang ada di perutnya pernah Anindita rasakan.
Teman-temannya menatap Anindita dengan tatapan jijik, .bahkan keluarganya seolah malu mengakuinya sebagai bagian dan mereka. Hari yang berat dilaluinya dengan penyesalan, bulan pun ia lalui dengan kekecewaan. Hingga hari itu tiba, dua malaikat kecilnya untuk pertama kalinya melihat dunia tanpa ditemani sang ayah yang seharusnya menyambut danmemperdengarkan azan di keduatelinganya
Kini Anindita bisa sedikit lega, setelah kedua malaikatnya hadir menatap matanya,
pahitnya rasa yang selama ini bersamanya perlahan memudar. Disinilah Anindita
sekarang. Tak ada lagi bekas prestasi sekolah di dalam dirinya. Orang hanya
mengenalnya dengan sebutan wanta nakal tak berwibawa. Pakaian trend anak muda
seusianya yang harusnya Ia kenakan sekarang malah digantikan oleh daster lusuh
yang penuh noda cipratan minyak. Hari-hari yang seharusnya ia lalui dengan berbagai
tugas kuliah dari dosen pembimbing malah tergantikan oleh kegiatan mengangkat
ember yang penuh dengan pakaian kotor. Sepatu modis yang seharusnya Ia kenakan malah harus digantikan sandal rumahan lusuh yang selalu menyebabkan betisnya kotor karena cipratan lumpur.
Penyesalan memang mencekik Anindita. Kecewa pun juga pasti selalu hadir di setiap
tatapannya. Namun itu semua harus ia sembunyikan.Karena di depan dua malaikat
kecilnya Ia adalah sosok hangat yang harus dengan bijak menjawab pertanyaan
keduanya saat mereka dewasa. "Agar kamu nanti tidak sama bodohnya dengan ibu, dan
agar nantinya kamu tidak menghancurkan kehidupan wanita lain seperti ayah" katanya
kepada kedua malaikatnya secara bergantian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H