Mohon tunggu...
noor johan
noor johan Mohon Tunggu... Jurnalis - Foto Pak Harto

pemerhati sejarah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Serangan Umum 1 Maret 1949: Duel Kolonel Van Langen versus Letnan Kolonel Soeharto

10 November 2024   10:39 Diperbarui: 10 November 2024   10:50 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Syafrudin Prawiranegara, Jenderal Soedirman, Letkol Soeharto (foto Ipphos)

Noor Johan Nuh                                                                                                                                                                                                                  

 

Setelah momen Yogya kembali, 29 Juni 1949, Kolonel Van Langen terpana dengan opsir muda berusia 28 tahun namun raut mukanya tampak jauh lebih muda dari usia sebenarnya.  Penampilannya opsir muda itu lebih mencerminkan sosok anak muda berusia 22 atau 23 tahun.                                              

Van Langen terpana karena  opsir muda itu  bersama pasukannya berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam.                                                                            

Opsir muda itu Letnan Kolonel Soeharto. 

Kolonel Van Langen adalah Komandan Brigade Tiger kerajaan Belanda sedangkan Letnan Kolonel Soeharto Komandan Brigade X Tentara Nasional Indonesia (TNI). Keduanya sama-sama komandan brigade.

Usia mereka terpaut 23 tahun. Dirk Reinhard Adelbert Van Langen lahir di Magelang 17 Mei 1989 sedangkan Soeharto di Yogyakarta 8 Juni 1921.

Pada waktu Soeharto dilahirkan, Van Langen sudah menyandang pangkat letnan satu dan bertugas di batalyon keenam belas yang bermarkas di Meester Cornelis sekarang Jatinegara.

Dan pada saat Soeharto mengikuti pendidikan militer PETA di Bogor 1943, alumnus Akademi Militer Breda Mayor Van Langen sedang bertempur dengan Jerman di perang dunia kedua.

Kandidat doktor sejarah Letnan Jenderal TNI Himawan Sutanto menggambarkan bahwa agresi militer Belanda kedua adalah adu strategi militer antara Jenderal Soedirman versus Jenderal Spoor, seperti ditulis dibukunya; Yogyakarta 19 Desember 1948---Jenderal Spoor (Operatie Kraai) versus Jenderal Soedirman (Perintah Siasat no.1).

Agresi militer  Belanda ke Yogyakarta sebagai centre of grafity di mana Pemimpin Republik Indonesia berdiam pada tanggal 19 Desember 1948, gambar besarnya Operatie Kraai,  akan tetapi  strategi pertempuran dijabarkan oleh Komandan Brigade Tiger Kolonel Van Langen.

Agresi  itu diawali dengan membombardir lapangan terbang Maguwo selanjutnya menerjunkan pasukan payung. Setelah lapangan terbang Maguwo dikuasai,  dengan menggunakan jembatan terbang  24 pesawat DC 3 Dakota, didatangkan  pasukan dan peralatan perang dari Semarang dan Bandung.              

Bahwa tentara Belanda akan melakukan agresi militer kembali sudah diperkirakan oleh TNI, namun diluar perhitungan bahwa serangan itu melalui lapangan terbang Maguwo.                                                                                                                  

Sedangkan TNI mewaspadai serangan dari arah barat atau Bandung di mana  pasukan Belanda ditempatkan,  atau Semarang. Tidak diperhitungkan penyerangan melalui lapangan terbang Maguwo.

Karena itu pasukan TNI dikosentrasikan di sebelah barat Yogyakarta dalam rangka latihan sekaligus antisipasi serangan dari arah barat.

Dalam kosentrasi pasukan seperti itu, Komandan Brigade X Letnan Kolonel Soeharto hanya memiliki satu kompi pasukan yang digunakan untuk menghambat  gerak maju pasukan Belanda.

Satu kompi itu berhasil menghambat gerak maju satu brigade pasukan Belanda sehingga baru lepas tengah hari pasukan Belanda berhasil masuk kota Yogyakarta. Penghambatan memberi waktu untuk melakukan bumi hangus dan memberi kesempatan bagi Panglima Besar Jenderal Soedirman meninggalkan Yogya melalui jalur selatan.

Sebelumnya, pada bulan Juni 1948, Panglima Besar Jenderal Soedirman mengeluarakan perintah Siasat no 1 pada bulan Juni, yaitu mengantisipasi serangan tersebut dengan taktik perang gerilya serta menjadikan seluruh pulau Jawa menjadi medan perang gerilya. Dan kepada para komandan yang memiliki kekuatan dapat melakukan serangan tanpa komando atas.

Perintah Siasat no 1 tahun 1948 menjadi pedoman seluruh komandan dijajaran TNI menghadapi agresi militer Belanda kedua.

Akhirnya Yogyakarta sebagai centre of grafity Repyblik Indonesia berhasil diduduki oleh Belanda. Kota ini dijaga oleh Brigade Tiger yang terdiri dari tiga ribu prajurit termaksuk satu batalyon pasukan khusus---KST-Korps Speciale Troepen.

Setelah menahan laju gerak pasukan Belanda, Letnan Kolonel Soeharto bersama pasukannya ke luar kota dan mulai menyusun kembali pasukan yang berada di luar kota.

Pasukan yang di luar kota dibagi menjadi empat sektor sesuai dengan arah mataangin kemudian menjadi enam, dan mulai menyerang pos dan markas Belanda di Yogyakarta malam hari.

Tidak kurang dari empat kali Brigade X dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto menyerang pos dan markas Belanda di Yogyakarta pada malam hari.

Sampai akhirnya Komandan Brigade X/Werhkreise III Letnan Kolonel Soeharto melakukan serangan pada siang hari tanggal 1 Maret 1949 dan berhasil menduduki kota Yogyakarta selama enam jam.                                                                                    

Serangan ini diliput oleh wartawan asing yang sedang mengikuti Konferensi Tiga Negara, hingga berita serangan ini tersebar ke seluruh dunia dan membongkar kebohongan Berlanda yang selama ini menyatakan Republik Indonesia sudah tidak ada.

Waktu itu Yogyakarta  diduduki olah Brigade Tiger yang terdiri dari tiga ribu tentara Belanda,  termasuk satu batalyon pasukan khusus---KST-Korps Speciale Troepen.

Karena itu secara strategi militer, tidak mungkin tentara Indonesia dapat menyerang Yogyakarta pada siang hari, apalagi sampai menduduki kota itu selama enam jam.

Keberhasilan serangan ini yang membuat Kolonel Van Langen terpana saat bertemu dengan Letnan Kolonel Soeharto.

Kembali mengenai Serangan Umum 1 Maret 1949 dibicarakan oleh Van Langen dengan TB Simatupang pada saat diadakan  Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada Agustus 1949.

Di KMB Brigadir Jenderal Van Langen menjadi penasehat militer Belanda sedangkan Kolonel TB Simatupang menjadi penasehat militer Indonesia.

Atas jasa-jasanya pada pemerintah Belanda pada perang dunia kedua dan aksi polisionil di Hindia Belanda, Letnan Jenderal Van Langen dianugerahi gelar pahlawan oleh pemerintahnya.

Sedangkan Jenderal Besar Soeharto, Komandan Serangan Umum 1 Maret 1949, serangan demi tegaknya kedaulatan di Republik Indonesia, bahkan namanya dihapus dalam Keppres no 2 tahun 2022, tentang penetapan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan. []

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun