Selain karakternya yang mengandung banyak kelemahan, mata uang virtual seperti Bitcoin juga memiliki setidaknya tiga fungsi yang mengandung risiko tinggi dalam setiap aktifitas ekonomi yang memanfaatkan fitur dan teknologi uang digital ini.
Tiga fungsi Bitcoin dan mata uang virtual lainnya yang diketahui secara umum adalah sebagai alat pembayaran, sebagai komoditas dan sebagai initial coin offering (ICO)---sebuah alternatif untuk kegiatan initial public offering (IPO) di lantai bursa saham.
Ketiganya mengandung risiko tinggi dan berada di luar regulasi resmi pemerintah ataupun otoritas moneter seperti Bank Indonesia. Itulah sebabnya bank sentral di banyak negara melarang peredaran mata uang virtual (virtual currency).
Baca juga:Kenali 4 Karakter Mata Uang Virtual yang Dilarang Beredar di Indonesia
Tiga fungsi mata uang virtual yang mengandung risiko tinggi adalah:
1. Sebagai alat pembayaran
Saat digunakan sebagai alat pembayaran, mata uang virtual jelas memiliki risiko tinggi karena tidak diterbitkan oleh otoritas moneter atau otoritas yang berwenang. Cryptocurrency juga tidak memenuhi karakteristik uang dan tidak mempunyai status hukum yang jelas.
2. Sebagai komoditas
Mata uang virtual berisiko saat dijadikan sebagai komoditas lantaran tidak memiliki jaminan aset (underlying asset) yang mendasari nilainya, melainkan hanya berdasarkan algoritma matematis.
Selain itu, volatilitas harga sangat tinggi dan adanya ketidakpastian pasokan di masa mendatang karena beberapa uang digital membatasi penerbitan hingga jumlah tertentu.
Baca juga:Mengenal Lebih Dekat Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)
Bank sentral juga menyoroti ketiadaan administrator yang bertanggung jawab atas penerbitannya, dan adanya potensi mata uang digital dimanfaatkan sebagai regulatory arbitrage karena transaksi dapat dilakukan dari negara lain dengan ketentuan yang lebih akomodatif.
3. Sebagai Initial Coin Offering (ICO)
Penawaran Koin Perdana atau ICO ini biasanya dilakukan oleh perusahaan rintisan (startup company) dalam rangka mendapatkan pendanaan dari luar. Lewat ICO, rintisan menawarkan mata uang digital baru kepada investor untuk ditukar dengan mata uang digital lainnya seperti Bitcoin, Ripple atau Ethereum.
ICO berisiko lantaran tidak diawasi oleh otoritas, sehingga tidak ada penilaian terhadap institusi dan penetapan nilainya pun tidak jelas.
Lebih dari itu, ICO didasarkan pada proposal yang tidak diverifikasi oleh pihak berwenang sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Apalagi, koin rentan digunakan untuk aktivitas ilegal.
Baca juga:Kekurangan Tunai vs Keuntungan Nontunai
Bank Indonesia juga menaruh perhatian besar pada risiko konvertabilitas, yakni risiko investor tak bisa mencairkan nilai investasi dari koin karena pasar sekunder yang tidak berkembang, dan tidak adanya pengawasan terhadap penggunaan dana yang berhasil dikumpulkan.
Dompet dan Bursa Virtual
Selain menyoroti ketiga fungsinya tersebut, bank sentral memperhatikan kehadiran penyelenggara bursa mata uang virtual (virtual currency exchange) dan penyedia dompet mata uang digital (digital wallet).
"Penyelenggara virtual currency tidak diatur otoritas manapun sehingga tidak memiliki kewajiban kehati-hatian sebagaimana institusi formal lainnya," demikian tertulis dalam materi paparan Bank Indonesia.
Baca juga:Penerima Bansos Nontunai: "Baru Kali ini Saya Pegang Kartu ATM"
Berdasarkan kajian BI, kebanyakan penyelenggara juga tidak memiliki kantor fisik, hanya situs web yang tidak jelas yurisdiksinya. Maka itu, ada risiko tinggi dalam hal perlindungan konsumen.
Dan tidak adanya know your customer (KYC) serta pengawasan menyebabkan transaksi menggunakan mata uang virtual berpotensi untuk aktivitas ilegal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H