Bank sentral juga menyoroti ketiadaan administrator yang bertanggung jawab atas penerbitannya, dan adanya potensi mata uang digital dimanfaatkan sebagai regulatory arbitrage karena transaksi dapat dilakukan dari negara lain dengan ketentuan yang lebih akomodatif.
3. Sebagai Initial Coin Offering (ICO)
Penawaran Koin Perdana atau ICO ini biasanya dilakukan oleh perusahaan rintisan (startup company) dalam rangka mendapatkan pendanaan dari luar. Lewat ICO, rintisan menawarkan mata uang digital baru kepada investor untuk ditukar dengan mata uang digital lainnya seperti Bitcoin, Ripple atau Ethereum.
ICO berisiko lantaran tidak diawasi oleh otoritas, sehingga tidak ada penilaian terhadap institusi dan penetapan nilainya pun tidak jelas.
Lebih dari itu, ICO didasarkan pada proposal yang tidak diverifikasi oleh pihak berwenang sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Apalagi, koin rentan digunakan untuk aktivitas ilegal.
Baca juga:Kekurangan Tunai vs Keuntungan Nontunai
Bank Indonesia juga menaruh perhatian besar pada risiko konvertabilitas, yakni risiko investor tak bisa mencairkan nilai investasi dari koin karena pasar sekunder yang tidak berkembang, dan tidak adanya pengawasan terhadap penggunaan dana yang berhasil dikumpulkan.
Dompet dan Bursa Virtual
Selain menyoroti ketiga fungsinya tersebut, bank sentral memperhatikan kehadiran penyelenggara bursa mata uang virtual (virtual currency exchange) dan penyedia dompet mata uang digital (digital wallet).
"Penyelenggara virtual currency tidak diatur otoritas manapun sehingga tidak memiliki kewajiban kehati-hatian sebagaimana institusi formal lainnya," demikian tertulis dalam materi paparan Bank Indonesia.
Baca juga:Penerima Bansos Nontunai: "Baru Kali ini Saya Pegang Kartu ATM"