Aku yang masih berbaring nyaman di kasur busa empuk itu berusaha bangkit. Aku duduk, lalu menengok ke arah jendela kaca yang sengaja ditutupi sedikit dengan triplek dan atap transparan. Langit kota Surabaya tampak cerah siang itu, bahkan selama beberapa bulan terakhir selalu cerah. Hujan hanya menghampiri bumi Kota Pahlawan ini sesekali, sesekali malam, sesekali pernah juga pagi hari.
Namun, langit yang cerah itu berbanding terbalik dengan hatiku yang setiap harinya sudah hujan, apalagi satu bulan belakangan. Langit yang cerah itu berbanding terbalik dengan suasana hatiku yang mudah sekali naik turun, dan sekarang rasanya semakin turun. Langit yang cerah itu berbanding terbalik dengan hari-hariku yang sudah hujan setiap hari satu bulan belakangan.
Aku bersyukur senangnya masih ada, yaitu ketika aku  bisa rutin empat kali dalam satu minggu  lari sore, bisa mengenal diri sendiri lebih banyak, bisa makan es krim home made dengan harga terjangkau, bisa menyelesaikan tugas kelas penulisan kontenku, ketika aku bisa keluar seharian dari kota Surabaya, aku bisa membeli lipstik baru, dan menikmati gemerlap lampu kota Surabaya lagi setelah lama tidak menikmatinya sembari melihat pameran lukisan di Alun-Alun Surabaya, juga membaca buku yang masih belum selesai aku baca.
Selebihnya, hari-hariku dipenuhi panggilan suara orang tua dan perwakilan keluarga besar yang selalu bertanya perihal aku sudah mendapatkan pekerjaan atau belum, baca doa ini doa itu, juga tambahan pertanyaan sejenis belakangan ini dari pemilik indekos yang tampaknya peduli, tapi tahu itu hal sensitif masih saja ditanyakan. Â
Hari-hariku juga dipenuhi kegiatan melamar pekerjaan secara daring yang menguras waktu, panggilan wawancara sebagai lanjutan dari lamaran pekerjaan itu yang menguras energi, dan ujung-ujungnya tidak ada kabar, atau ada kabar tidak lulus, belum berjodoh, dan lainnya.Â
Belum lagi pekerjaan di indekos sehari-hari yang menguras energi seperti memasak, mencuci, menyetrika, membersihkan toilet, juga membereskan kamar. Selain itu, belum lagi menulis projek pribadi yang belum juga selesai bagaikan aku mengerjakan skripsi ketika kuliah, dan kelas-kelas yang belum aku ikuti lewat video YouTube atau platform lain.
Hiburanku membaca buku, buka media sosial, dan menulis konten kutipan dari buku yang aku baca dan mengunggahnya di media sosial, menonton video di kanal YouTube milik siapa, atau sekadar ke sebuah swalayan ternama, membeli makanan dan minuman ringan, lalu duduk merenung di bangku bagian kedai kopinya. Merenungi kehidupanku, hari-hariku di sana, atau sekadar menulis jurnal. Selain itu, sesekali  aku juga berkaraoke mengandalkan video YouTube.
Aku hidup bagaikan bukan manusia, dari dulu ketika masih di ranah kelahiranku, Sumatera Barat, sampai sekarang di Surabaya. Kuat di depan tanpa memperlihatkan lemahnya. Semua itu bukan tanpa alasan. Semua itu bisa dibilang karena luka-luka batin selama ini di ranah kelahiranku, dan ketika sudah di Surabaya berniat menyembuhkan luka dan mengenal diri sendiri lebih jauh, ternyata menyembuhkan luka dan membangun hubungan baru dalam usia 25 tahun juga tidak mudah bagiku.Â
Aku tidak mau luka-lukaku tertular pada orang-orang baru yang aku kenal, padahal aku juga butuh orang-orang paling tidak untuk bertanya rekomendasi kafe murah di Surabaya atau bisa aku ajak jalan-jalan ke luar Surabaya seharian.
"Bukankah menyembuhkan luka dan mengenal diri sendiri itu perlu orang lain?" tanya seseorang dalam diriku yang selalu penuh ingin tahu, sebut saja dia Foxtrot.
"Tentu. Entah mengapa tak semudah itu. Menjalin hubungan lebih dekat dengan manusia lainnya tidak membuatku nyaman sejak luka-luka dan depresi situasional itu datang dalam hidupku. Apalagi ketika aku sudah tahu tabiat manusia sejak menjalani usia 25 ini," jawabku.
"Kamu manusia juga, dan manusia tidak bisa hidup sendiri. Apa kamu tidak lelah sendirian terus?" tanya Delta, seseorang dalam diriku yang selalu humanis.
"Iya, sayangnya itu. Aku juga manusia, aku tahu manusia tidak bisa hidup sendiri, dan aku juga lelah sendirian kadang," jawabku dengan suara mulai bergetar.
Keadaan hening sejenak. Aku menghela napas pelan.
"Sudah bisa disebut hampir satu tahun setelah lulus kuliah. Sudah banyak pekerjaan yang kamu lamar, tapi belum membuahkan hasil. Usahamu sudah dikerahkan sebegitunya, sampai membuat portofolio sendiri saja terbatas di tengah segudang aktivitasmu yang memakan banyak waktumu yang terbatas, dan sudah berkian kali ditanya keluarga bahkan sampai pemilik indekos. Sudah hujan setiap harinya kamu rasakan belakangan ini. Kamu tidak ingin memayungi dirimu dari hujan ini?" tanya Charlie, seseorang dalam diriku yang kehadirannya selalu memberikan hal-hal yang membuatku mampu melakukan hal baru dalam hidup.
Aku terdiam. Benar-benar diam. Hening pun kembali menyeruak. Memayungi diriku. Aku sudah berusaha memayungi diriku, bahkan sampai ke Surabaya ini adalah salah satu payungku paling besar yang aku usahakan dan sudah aku punya. Namun, payung itu tetap membuatku basah kuyup oleh hujan itu.
"Kenapa kamu diam? Apa pertanyaanku salah?" tanya Charlie memecah keheningan.
"Tidak. Pertanyaanmu tidak salah," jawabku dengan suara kembali bergetar.
Aku menghela napas pelan. Pertanyaan Charlie tidak salah. Tidak ada yang salah dengan pertanyaan itu.
"Aku sudah melakukannya sebelum kamu mempertanyakannya, Charlie. Sampai di titik sekarang, itu sudah payungku paling besar yang aku usahakan dan aku berhasil memilikinya. Namun, kamu tahu Charlie, payung itu tetap membuatku basah kuyup oleh hujan. Apalagi hujan satu bulan belakangan ini," jawabku dengan suara yang ternyata bergetar lagi dan mata berkaca-kaca.
Tak lama keluar isak tangis dariku. Mereka menatapku lamat-lamat, dan ada yang memelukku, mengusap punggungku, memegang tanganku dan mengelus punggung tanganku. Keadaan pun hanya dipenuhi isak tangisku yang makin lama makin menjadi. Mereka membiarkan tangisku pecah, tapi hanya seseorang ini saja memelukku. Setelah tangisku mulai mereda, seseorang ini bersuara.
"Charlie, aku paham kamu perhatian padanya, tapi tidakkah kamu mendengar suaranya bergetar sedari tadi menjawab pertanyaanmu? Sudahlah. Bahkan selalu aku yang memeluknya ketika dia menangis karena kalian," tutur Echo, seseorang yang selalu membelaku ketika keadaan sudah mulai chaos setiap kali Foxtrot, Delta, dan memang paling sering Charlie yang membuat chaos keadaan.
"Terima kasih Echo. Aku tidak apa. Aku hanya memang benar-benar sudah basah kuyup oleh hujan dalam hidupku ini, apalagi hujan satu bulan belakangan. Charlie... begitulah dia menunjukkan perhatiannya. Tak apa. Sudah ya," kataku memohon padanya.
Echo mengangguk sembari tersenyum tipis.
"Kamu tidak malas, kamu justru rajin sesuai kemampuanmu, kamu pemberani, kamu baik, dan kamu pasti bisa menghadapi ini, wahai Ratuku. Kamu sudah berusaha dan melakukan apa yang bisa kamu lakukan. Kamu hidup tentu tidak untuk memenuhi ekspektasi mereka bukan?" tambah Bravo, seseorang dalam diriku yang selalu mengingatkanku pada keunggulan diriku dan memberikanku dukungan.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Kamu sadar akan Allah, sadar akan dosa, sadar bahwa hidup yang diberikan untukmu saja adalah sebuah anugerah, dan tidak mengakhirinya begitu saja, bukankah itu sudah suatu hal yang luar biasa yang tidak semua orang bisa, wahai Ratuku?" tanya Bravo dengan senyum meneduhkannya.
Aku mengangguk, tapi kemudian berkata, "Iya, kamu benar. Namun, bagi manusia di sekitarku itu tidak cukup, Bravo. Mereka katanya peduli, ingin aku sukses, tapi ya begitulah, Bravo. Aku merasa kalau aku mati mereka biasa saja ya. 'Kan mereka menghargai pencapaianku secara material dalam hidup, bukan hal simpel tapi mendalam seperti masih adanya keinginanku bertahan hidup. Rasanya bagiku, mereka tidak sepenuhnya peduli padaku."
"Ya, itulah tabiat manusia 'kan. Banyak dari mereka yang lupa menghargai hal-hal kecil. Banyak dari mereka yang melihat kesuksesan itu dari hal-hal besar seperti pencapaian material, bukan hal simpel seperti sukses tetap mau bertahan hidup. Sepertinya inilah ujian orang-orang terpilih sepertimu, Ratuku. Aku setuju dengan semuanya kali ini.  Kamu bisa, Ratuku. Kamu bisa. Kamu ratu dalam hidupmu sendiri, Ratuku. Luka-lukamu, semua yang kamu alami, manusia-manusia yang kamu katakan itu, itulah pembentukmu sampai sekuat dan seberani  ini. Ratuku," tegas Alpha, seseorang dalam diriku yang bijaksana dan dewasa.
Aku menoleh dan menatapnya dalam. Dia melanjutkan, "Sembuh dan mengenal diri lebih jauh memang butuh proses panjang, Ratuku. Kamu sudah sadar lebih dulu kamu perlu untuk disembuhkan, kamu perlu mengenal diri sendiri lebih jauh dan lebih baik lagi, itu adalah titik yang mana  tidak semua orang sadar segera. Ada yang sudah mengikat janji bersama pasangan hidup baru dia sadar dia perlu disembuhkan.Â
Kamu memang manusia terpilih dari sekian banyak manusia terpilih, Ratuku. Aku tahu kamu tidak mudah untuk bodo amat dengan manusia di sekitarmu yang aku juga geleng-geleng kepala mendengar omongan mereka kepadamu, sampai kamu sering jadi berantakan karenanya. Akan tetapi aku mohon, tetaplah hidup, Ratuku. Kamu lelah, istirahatlah. Kamu sedih, menangislah. Kamu senang, nikmatilah. Aku tahu kamu butuh waktu lebih banyak perihal manusia lainnya, Ratuku. Percayalah, kamu diberikan waktu untuk melakukan semua itu."
"Aku tahu kamu juga tahu fakta bahwa manusia lainnya juga tidak tahu pasti apa yang dia lakukan di dunia ini sudah tepat atau tidak, bahkan kamu juga sudah semakin banyak paham 'kan tabiat manusia dan kodratnya, Ratuku. Tolong, tataplah dirimu lebih dalam, Â Ratuku. Kebiasaanmu sehari-hari, kebersihan dirimu, pikiranmu, semuanya, lihatlah semua itu dan kejarlah dirimu sendiri, Ratuku.Â
Belajarlah dari kesalahanmu yang banyak katamu itu. Kamu bisa, Ratuku. Kamu jauh lebih bisa dari apapun untuk bersinar lebih terang dalam hidupmu. Tolong, benar-benar sayangilah dirimu. Cintailah dirimu lagi, selelah apapun kamu dengan dirimu, Ratuku," titah Alpha yang spontan memelukku erat.
Aku membalas pelukan Alpha sambil menitikkan air mata lagi. Begitu erat. Tak lama menyusul Echo memelukku, lalu Beta. Kemudian, disusul Charlie, Delta, dan Foxtrot yang juga sambil menangis. Lama kami berpelukan.
Setelah puas dan sudah menghapus air mata masing-masing, Charlie angkat bicara, "Aku yakin, payung yang lebih besar lagi itu ada selain yang kamu punya sekarang, Ratuku. Kamu bahkan sudah punya, tanpa kamu sadari."
Aku menoleh pada Charlie dan menatapnya penuh rasa ingin tahu.
"Semua hal yang ada pada dirimu itu, termasuk keinginanmu tetap bertahan hidup itu payung paling besarmu, Ratuku. Tetaplah bertahan, tetaplah punya kesadaran untuk sembuh, kesadaran untuk mengenal diri lebih jauh dan lebih baik, dan tetaplah berusaha pada apapun yang kamu sedang usahakan, Ratuku.Â
Aku tahu kamu sudah lelah dengan manusia lainnya, lelah dengan semua ini. Kalau kamu tetap bertahan, maka peluangmu besar, Ratuku. Kamu juga bisa sembuh, bisa kenal lebih baik dirimu, lebih tahu sepenuhnya apa yang kamu bisa, kamu rasakan, kamu bisa tahu muara kehidupanmu ini, Ratuku.Â
Meskipun... meskipun kamu harus lebih banyak lagi merasakan sakit, entah itu dari manusia lainnya, entah darimana, bahkan kamu bisa selalu naik kelas dengan setiap ujian berikutnya dari Allah, sampai kata Allah ujianmu selesai dan kamu lulus. Inilah yang akan membuatmu lebih kuat. Kembali pada kalimat tadi. Kamu manusia terpilih dari sekian banyak manusia terpilih lainnya, Ratuku," jelas Charlie sambil tersenyum.
Sejujurnya aku bahkan tidak yakin aku bisa tetap bertahan. Aku tidak tahu apakah payung paling besar kata Charlie ini bisa membuat tubuhku tidak basah kuyup lagi oleh hujan kehidupanku.
"Allah, dan kami semua bersamamu, Ratuku. Allah, dan kita semua, membantumu memegangi payung paling besarmu itu. Allah pasti memampukanmu memegangnya lebih kuat lagi dari biasanya, dan kita semua ada untukmu. Kita semua ada untukmu, Ratuku. Everything is temporary. Everything be okay, soon. You deserve to get every good things, Ratuku." kata Alpha dan Bravo serempak.
Aku mencerna semua kalimat yang mereka dalam diriku ini sampaikan. Iya, keinginan untuk bertahan hidup itu masih ada, meskipun tidak mudah menjalaninya. Aku memang ingin tahu muara kehidupanku ini ke mana nanti, dan benar, kalau aku bertahan hidup ya aku bisa tahu muara kehidupanku.Â
Namun, aku rasanya tidak kuat dengan sakitnya kehidupan ini. Lisan-lisan tak bertanggung jawab, privilege, status sosial, ketidakadilan, belum lagi manusia-manusia bermuka banyak dan saling menjatuhkan satu sama lain, meremehkan satu sama lain, saling merendahkan satu sama lain, dan masih banyak lagi.
"Persetan semua sakitnya kehidupan itu. Kamu bukan manusia seperti itu, Ratuku," kata Bravo yang ternyata tahu apa yang ada dalam benakku.
"Bukankah hidup memang begitu, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, Ratuku? Bukankah harus melewati banyak perjuangan, banyak kesakitan dulu, baru akan sampai di titik impian itu semuanya tercapai? Bukankah hidup memang tempatnya bersakit-sakit, berlelah-lelah?" tanya Alpha memastikan.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Bertahanlah, Ratuku. Kami semua juga ingin tahu muara hidupmu. Tentu ini dalam konteks yang baik, dari yang simpel hingga paling besar. Semuanya. Kami ada untukmu. Kamu sudah hebat masih hidup sampai detik ini, melakukan hal sejauh ini yang tidak pernah siapapun menyangka kamu melakukannya, termasuk dirimu," titah Foxtrot.
Echo, Delta, Charlie, Bravo, dan Alpha mengangguk serempak mengiyakan kalimat Foxtrot.
Aku merenungi kalimat-kalimat mereka lagi lebih dalam. Memang, tidak ada yang salah dari yang mereka katakan. Mereka juga tahu sudah sebanyak apa usahaku. Mereka juga tahu sudah berapa kali aku menangis karena manusia-manusia di sekitarku, juga karena semua yang terjadi padaku.
"Waktumu ada, Ratuku. Memang semuanya butuh waktu, dan itu tak apa. Allah dan kami semua membantumu memegangi payung paling paling besar itu untuk bisa memayungimu dari hujan badai kehidupan apapun itu. Aku yakin, kamu jadi semakin kuat dan lebih mampu menghadapi hujan badai apapun dalam kehidupan. Aku tahu, tak ada manusia lainnya yang benar-benar membantu memayungi dirimu dari hujan kehidupan, selain kami. Bertahanlah, sekali lagi, sekali lagi, dan seterusnya. Allah, dan kami, ada untukmu," ucap Alpha.
Aku mengangguk mantap mengiyakan, sambil menangis terharu. Mereka memelukku erat. Aku merasakan juga kehangatan dan kedamaian dalam pelukan mereka. Di tengah aku yang butuh solusi konkret, tapi malah tidak mendapatkan yang aku butuhkan, masih ada yang memelukku erat. Allah dan diriku sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H