"Tentu. Entah mengapa tak semudah itu. Menjalin hubungan lebih dekat dengan manusia lainnya tidak membuatku nyaman sejak luka-luka dan depresi situasional itu datang dalam hidupku. Apalagi ketika aku sudah tahu tabiat manusia sejak menjalani usia 25 ini," jawabku.
"Kamu manusia juga, dan manusia tidak bisa hidup sendiri. Apa kamu tidak lelah sendirian terus?" tanya Delta, seseorang dalam diriku yang selalu humanis.
"Iya, sayangnya itu. Aku juga manusia, aku tahu manusia tidak bisa hidup sendiri, dan aku juga lelah sendirian kadang," jawabku dengan suara mulai bergetar.
Keadaan hening sejenak. Aku menghela napas pelan.
"Sudah bisa disebut hampir satu tahun setelah lulus kuliah. Sudah banyak pekerjaan yang kamu lamar, tapi belum membuahkan hasil. Usahamu sudah dikerahkan sebegitunya, sampai membuat portofolio sendiri saja terbatas di tengah segudang aktivitasmu yang memakan banyak waktumu yang terbatas, dan sudah berkian kali ditanya keluarga bahkan sampai pemilik indekos. Sudah hujan setiap harinya kamu rasakan belakangan ini. Kamu tidak ingin memayungi dirimu dari hujan ini?" tanya Charlie, seseorang dalam diriku yang kehadirannya selalu memberikan hal-hal yang membuatku mampu melakukan hal baru dalam hidup.
Aku terdiam. Benar-benar diam. Hening pun kembali menyeruak. Memayungi diriku. Aku sudah berusaha memayungi diriku, bahkan sampai ke Surabaya ini adalah salah satu payungku paling besar yang aku usahakan dan sudah aku punya. Namun, payung itu tetap membuatku basah kuyup oleh hujan itu.
"Kenapa kamu diam? Apa pertanyaanku salah?" tanya Charlie memecah keheningan.
"Tidak. Pertanyaanmu tidak salah," jawabku dengan suara kembali bergetar.
Aku menghela napas pelan. Pertanyaan Charlie tidak salah. Tidak ada yang salah dengan pertanyaan itu.
"Aku sudah melakukannya sebelum kamu mempertanyakannya, Charlie. Sampai di titik sekarang, itu sudah payungku paling besar yang aku usahakan dan aku berhasil memilikinya. Namun, kamu tahu Charlie, payung itu tetap membuatku basah kuyup oleh hujan. Apalagi hujan satu bulan belakangan ini," jawabku dengan suara yang ternyata bergetar lagi dan mata berkaca-kaca.
Tak lama keluar isak tangis dariku. Mereka menatapku lamat-lamat, dan ada yang memelukku, mengusap punggungku, memegang tanganku dan mengelus punggung tanganku. Keadaan pun hanya dipenuhi isak tangisku yang makin lama makin menjadi. Mereka membiarkan tangisku pecah, tapi hanya seseorang ini saja memelukku. Setelah tangisku mulai mereda, seseorang ini bersuara.