Mohon tunggu...
Nurul Pratiwi
Nurul Pratiwi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis dan pengembara kehidupan saya sendiri. Tertarik dengan dunia literasi, jurnalistik, fotografi, psikologi, dan kesehatan mental.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Jangan Gengsi Berkomunikasi Kalau Ingin Perbaiki Hubungan

21 Mei 2024   23:10 Diperbarui: 21 Mei 2024   23:28 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: goodreads.com

Hallo, Kompasianer...

Konten buku atau novel ini sudah lama aku tulis dan berada dalam sebuah platform, tapi aku memutuskan untuk memindahkannya ke Kompasiana agar dibaca lebih banyak lagi publik, meskipun mungkin juga sudah ada yang menulis resensi novel ini.

Kali ini aku bakal berbagi soal novel fiksi yang pernah aku baca. Novel ini  trilogy series yang awalnya ditulis di Wattpad (sebuah aplikasi baca dan tulis novel gratis dan sering disebut "dunia oren"), dan akhirnya diterbitkan menjadi buku fisik. 

Saat aku membaca novel seri pertamanya, saat itu juga aku dibuat tertarik membacanya lebih lanjut hingga novel seri ketiganya. Novel ini aku sebut Trilogy Series "If You Know".Sebenarnya, aku ingin bahas novel seri ketiganya aja, tapi rasanya kurang kalau bahas salah satu novel aja, karena mereka semua saling berkaitan. 

Novel yang ditulis oleh Indriya @itsmeINDRIYA_) ini menceritakan lika-liku kehidupan seorang perempuan bernama Vanilla Arneysa Putri Bharmantyo yang menurutku jauh berbeda dari novel-novel yang pernah aku baca.

Oke, bagian ini bakal ngebahas novel seri pertamanya yang berjudul "If You Know Why". Novel yang terbit pada 2017 ini lebih menonjolkan betapa beratnya kehidupan perempuan yang akrab disapa Vanilla ini. 

Vanilla adalah anak keempat dari empat bersaudara, seorang poliglot (sebutan untuk seseorang yang pandai dalam berbagai bahasa, dan Vanilla menguasai empat belas bahasa asing, termasuk bahasa Indonesia), sosok yang dewasa (baik sikap maupun pemikirannya), mandiri, baik hati, penyayang, sabar, kuat, suka berinteraksi dengan anak-anak, serta memiliki kemampuan memainkan piano. Masya Allah, keren banget ya sosok Vanilla ini.

Namun di balik itu semua, Vanilla punya keluarga yang tak harmonis layaknya keluarga pada umumnya. Vanilla hidup bersama orang tua angkatnya (keluarga Gustavo), dan percayalah, keluarga kandungnya masih ada. 

Lantas kenapa bisa begitu? Penyebabnya adalah skandal perusahaan orang tua kandung Vanilla yang akhirnya membuat mereka mempertaruhkan Vanilla untuk dilepaskan awalnya pada keluarga Dirgantara, tapi akhirnya jatuh ke tangan keluarga Gustavo, karena sesuatu hal terjadi (begitu juga yang terjadi dengan Ferrio, kakak kedua Vanilla yang diceritakan pda bagian tengah cerita). 

Selain itu, penyebabnya adalah kecelakaan Vanilla dan saudaranya (Zero dan Vanessa) serta sahabatnya (Kevin) sekian tahun silam, sehingga Vanilla sering disalahkan oleh keluarga dan saudaranya (terutama Zero) terkait kecelakaan tersebut dan idenya kala itu yang berujung pada komanya Vanessa. 

Tak sampai di sana, Vanilla semakin disalahkan saat ia menyaksikan Kevin ditembak oleh Dirga, dalang dari kecelakaan tersebut, dan bukti-bukti terkait penembakan dan hilangnya nyawa Kevin sangat kuat mengarah pada Vanilla. 

Setelah kejadian itu, Vanilla mengalami gangguan stres pasca trauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD) dan gangguan identitas disosiatif (Dissociative Identity Disorder/DID).

Bukannya mendapat perhatian, Vanilla malah dianggap gila oleh keluarganya karena penyakit mental yang dialaminya, sampai Vanilla dimasukkan ke rumah sakit jiwa. 

Selain PTSD dan DID, Vanilla juga memiliki masalah dengan ginjalnya, sebab ginjalnya sudah tersisa satu dan tidak berfungsi sempurna karena kecelakaan yang ia alami bersama sahabat dan saudaranya, serta pada suatu masa ginjalnya yang satu telah ia berikan pada saudara kembarnya (Vanessa) tanpa diketahui oleh keluarga kandungnya, dan semua itu atas permintaannya. Subhanallah, jadi sedih dan gak kebayang gimana rasanya jadi Vanilla.

Suatu hari, Vanilla yang menjalani pengobatan di Jerman dan tinggal bersama orang tua angkatnya ingin memperbaiki hubungan dengan keluarga kandungnya. Orang tua angkatnya yang merupakan sahabat orang tua kandungnya merestui keinginan Vanilla. 

Akhirnya, Vanilla memutuskan kembali ke Indonesia. Saat ia kembali pada keluarga kandungnya, semuanya tak sesuai harapan Vanilla. Zero, kakak tertuanya malah tampak semakin tak menginginkannya kembali, bahkan tak menganggap Vanilla adalah adiknya di hadapan teman-temannya. 

Sedangkan, Vanessa dan orang tua kandungnya masih menyambut Vanilla dengan ramah dan berusaha memanfaatkan kesempatan itu. Namun, sesungguhnya Zero ingin berbicara baik-baik dengan Vanilla, menganggapnya adik kandungnya sendiri di depan banyak orang, tapi rasa "gengsi" sudah sudah mendahului keinginan baiknya itu.

Saat masa kembalinya ke Indonesia, Vanilla bersekolah di SMA Nusa Bangsa dan ia kembali satu sekolah dengan sahabatnya, Raquell dan Leon. Selain itu, Vanilla juga bertemu dengan senior bernama Davarianova Pramudya Pamungkas atau akrab disapa Dava. Mereka bertemu kala Vanilla menjalani Masa Orientasi Sekolah (MOS). 

Awal pertemuan mereka cukup klise, berawal dari Vanilla yang "tak hormat" saat ditegur oleh kakak kelasnya kala itu, yang berujung Vanilla harus memperkenalkan diri dan memperkenalkan nama kakak kelasnya yang kala itu salah seorang dari mereka ada Dava. Mereka semua terkejut Vanilla bisa mengenal nama lengkap mereka yang kala itu sebenarnya mereka hanya mengenalkan nama panggilan. 

Ternyata, Vanilla mengetahui nama lengkap mereka dari nametag milik mereka yang ditaruh di sembarang tempat dan disimpan Vanilla dalam saku seragamnya. Seiring waktu, Vanilla, Raquell, dan Leon semakin akrab. Begitupun Vanilla dengan Dava. Keakraban Vanilla dan Dava berawal dari dirinya yang ketahuan ingin kabur dari sekolah dengan menaiki tangga dekat tembok sekolah tersebut. Keakraban Vanilla dan Dava pun membawa mereka menjadi sepasang kekasih.

Jadi, setelah itu gimana?

Memiliki seorang kekasih tak membuat masalah Vanilla selesai begitu saja. Masalah Vanilla dengan keluarganya semakin bertambah, hingga ia muak dan berubah menjadi sering menyakiti hati orang tua kandungnya dan menjawab ketus segala ucapan saudaranya.  Zero pun sedih melihat tingkah Vanilla yang demikian, dan semua itu juga karena dirinya. 

Selain itu, Britney yang merupakan mantan kekasih Dava muncul kembali dan meneror Vanilla, hingga hubungan Vanilla dan Dava pun renggang, terus dekat, lalu renggang lagi, dekat lagi, ya gitu aja terus! Wkwk... Dava ingin memperbaiki hubungan dengan Vanilla, tapi hubungan mereka malah semakin tak karuan, diperparah dengan kecelakaan mobil yang dialami Leon yang mana Vanilla dituduh menjadi tersangka dari kecelakaan mobil tersebut. 

Padahal, tersangka kecelakaan yang dialami Leon adalah Vanessa, tapi Vanilla malah mengakui dirinyalah yang melakukan hal tersebut. Dava pun "mempercayai apa yang ia lihat" dan tak percaya pada penjelasan Vanilla. 

Dava juga terkesan "plin plan" dalam mengambil keputusan dan "gengsi" berkomunikasi lagi dengan Vanilla. Hal inilah yang menjadi penyebab lain hubungan Vanilla dan Dava semakin tak karuan. Setelah semua itu terjadi, tak hanya hubungannya dengan Dava, hubungannya dengan Raquell dan Leon pun ikut merenggang dan seiring waktu akhirnya membaik kembali.

Pada suatu masa, Vanilla mulai menyerah dengan hidupnya. Ginjalnya yang semakin sakit, penyakit mentalnya yang semakin menjadi-jadi, masalah ia dengan Dava yang tak kunjung selesai, masalah keluarganya yang juga tak kunjung selesai karena ia malah semakin mengambil jarak dari keluarganya, dan aksi teror terhadapnya yang juga semakin menjadi-jadi. 

Suatu hari, Vanilla harus menerima kenyataan bahwa Dava dijodohkan dengan Vanessa, dan setelah hari itu, keluarga kandungnya dan Dava menyesal sedalam-dalamnya telah "gengsi" ingin berkomunikasi dan  memperbaiki hubungan dengan Vanilla.

Wah, gitu ya. Jadi sedih :(

Nah, bener banget. Aku pas baca novel ini juga sedih, dan pas baca ulang lagi meski gak semuanya, malah nangis.

Novel ini gak cuma ngangkat tentang gengsinya anggota keluarga untuk berkomunikasi demi memperbaiki hubungan yang merupakan salah satu family issues ataupun relationship issues, tapi juga ngangkat tentang mental health issues yang mulai jadi perhatian kala novel ini ditulis, yang mana banyak banget orang lain nganggep orang dengan penyakit mental dianggap gila, aneh, gak normal, sampe mereka dikucilkan dari lingkungan mereka, bahkan lingkungan terdekat seperti keluarga sendiri. Padahal, mereka juga perlu didengar, diberi perhatian, dan dianggap juga layaknya manusia tanpa penyakit mental. 

Adanya penyakit mental bukan keinginan mereka juga, bukan? Sayangnya, sekarang masih banyak orang yang nganggep orang dengan penyakit mental itu gila, aneh, gak normal, bahkan kurang iman dan kurang ibadah, hingga penyakit mental masih menjadi perhatian sampai hari ini.

Novel ini ngingetin kita buat jangan gengsi berkomunikasi kalau ingin memperbaiki hubungan sesama manusia, karena komunikasi itu adalah hal yang paling utama dan paling penting dalam sebuah hubungan, baik hubungan manusia dengan Allah, maupun dengan alam dan sesama manusia. 

Selain itu, novel ini juga ngingetin kita buat jangan nganggep orang dengan penyakit mental itu gila, aneh, gak normal, dan lain-lain serta tetap memperlakukan orang yang punya penyakit mental sebagaimana kita memperlakukan orang lain yang gak punya penyakit mental. 

Novel ini juga ngingetin kita buat jangan mau mengorbankan keluarga kita hanya demi ambisi kita untuk perusahaan, sebab keluarga jauh lebih penting dan tak mampu dibeli dengan apapun. Nah, ada lagi. Novel ini ngingetin kita buat jangan terlalu percaya pada hal yang kita lihat, bukankah sekarang begitu 'kan ya yang terjadi?

Penulis novel ini yang tertarik dengan dunia psikologi bener-bener bisa ngebawa novel dengan alur maju mundur ini jadi bener-bener menarik, seolah penulis bener-bener ada di sana dan paham banget sama masalah sang tokoh dalam cerita. 

Penulis juga berhasil nulis cerita novel ini yang bener-bener complicated dan ngaduk-ngaduk perasaan, karena jika dibawa ke dunia nyata, hal-hal yang dialami sang tokoh cerita itu banyak yang kerasa di luar nalar. Namun, bisa saja cerita seperti ini memang pernah terjadi atau ada di dunia nyata.

Novel yang diterbitin Loveable dengan tagline "I'm not as strong as you see" ini bener-bener keren dan recommended buat dibaca, meskipun tebelnya 525 halaman, huruf  yang digunakan cukup kecil, dan konflik cerita yang kerasa di luar nalar. 

 

Sampai jumpa lagi dalam bahasan novel seri kedua :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun