To the point. Lihat deh peta Google Earth di atas. Itu adalah Kepulauan Tanimbar, Maluku. Perhatikan area berwarna biru muda di sekeliling pulau-pulau. Adalah Terumbu Karang. Bahasa Inggrisnya, Coral Reef.
Secara kasat mata pakai Google Earth saja, terlihat jelas ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Tanimbar. Artinya, kawasan ini tergolong memiliki areal Terumbu Karang yang cukup besar. Wajar WWF cukup concern pada habitat Terumbu Karang di Kepulauan Tanimbar. WWF sudah mengirimkan tim khusus guna menjaga habitat Terumbu Karang disana.
Menurut WWF, habitat Terumbu Karang Tanimbar terancam akibat pola penangkapan ikan oleh masyarakat nelayan setempat yang tidak ramah lingkungan. WWF menggelar penelitian tingkat kerusakan Terumbu Karang di Tanimbar, sekaligus memberikan edukasi dan sosialisasi kepada para nelayan, mengenai penangkapan ikan laut yang ramah lingkungan dan tidak merusak Terumbu Karang.
Apa sih Terumbu Karang itu? Yakin sekali, banyak yang mengira Terumbu Karang itu benda mati, padahal ia hidup. Banyak juga yang menyangka Terumbu Karang adalah tumbuhan, padahal Terumbu Karang adalah Hewan. Hanya saja ‘Hewan’ ini bersimbiosis dengan sejenis Tumbuhan Alga yang disebut Zooxanhellae. Terumbu Karang merupakan salah satu kunci terbentuknya ekosistem perairan yang menjadi pusat hidup sejumlah spesies Biota Laut.
Demikian sekilas info mengenai Terumbu Karang. Penting lho memahami bahwa Terumbu Karang adalah Makhluk Hidup, bukan benda mati. Tak kalah penting, memahami bahwa Terumbu Karang adalah Hewan, bukan Tumbuhan.
Dimana letak pentingnya?
Coba deh, ente mau taruh sepeda motor di areal yang kebetulan banyak batu-batuan (benda mati). Tanpa rasa bersalah ente akan geser-geser itu batu (benda mati), supaya bisa parkir. Kalau memahami Terumbu Karang sebagai benda mati, kira-kira akan sama tak merasa bersalahnya, jika ente mau bangun sesuatu di area Terumbu Karang. Tanpa rasa bersalah mengatakan, “Babat habis saja Terumbu Karangnya, benda mati ngapain dipikirin?”
Tak jauh beda kalau memahami Terumbu Karang sebagai Tumbuhan. Sudah pasti potong sayuran dari pohon lebih mudah dan hampir tidak ada rasa bersalah, ketimbang memotong hidup-hidup seekor ayam. Kenapa? Karena Tumbuhan itu Makhluk Hidup, tapi kebanyakan orang tidak merasa ketika memetik buah atau bunga, sama dengan memotong kaki seekor kucing.
Ada perbedaan signifikan di perasaan seseorang ketika ‘membunuh’ Tumbuhan dengan ‘membunuh’ Hewan.
Jadi, mulai sekarang, kalau anda main di pantai dan melihat Terumbu Karang. Mulailah berpikir kalau Terumbu Karang adalah makhluk hidup yang kalau anda lukai, ia bisa merasa sakit seperti ketika kita melukai seekor kucing.
Kembali ke pembahasan Terumbu Karang Tanimbar. Seperti dinyatakan WWF, saat ini ancaman terbesar Terumbu Karang Tanimbar adalah pola penangkapan ikan masyarakat nelayan setempat. Pola menangkap ikan saja sudah mengancam habitat Terumbu Karang Tanimbar. Apalagi kalau bicara pembangunan pipa gas bawah laut?
Pasti semua sudah tahu, di dekat Tanimbar ada sebuah blok migas yang bernama Masela, dan ke depannya akan dieksploitasi sumber daya alam yang ada di bawahnya. Tepatnya, blok tersebut berada kurang lebih 150 kilometer ke arah Tenggara dari Kepulauan Tanimbar.
Kalau lihat peta di atas, terlihat Kepulauan Tanimbar berada di patahan Lempeng Benua. Blok Masela juga terletak di patahan. Buat yang belum tahu, tubrukan 2 lempeng selalu menghasilkan tumpang tindih. Satu Lempeng akan berada di atas, sedangkan Lempeng lainnya akan terselip ke bawah Lempeng yang di atas.
Kok bisa ada gas atau minyak di patahan? Buat yang belum tahu, selama jutaan tahun Lempeng terus bergerak. Lempeng yang ‘kalah’ (menyelip ke bawah Lempeng yang atas), akan ‘menjebak’ fosil-fosil makhluk hidup jutaan tahun lampau ke bawah Lempeng Atas. Alhasil, jadilah minyak dan gas di jutaan tahun kemudian, yang sekarang akan kita nikmati manfaatnya.
Sah-sah saja eksploitasi minyak, gas, mineral di darat maupun lautan, asalkan mendahulukan aspek keseimbangan alam di atas segala keuntungan keuangan. Jangan seperti para petinggi negara dan pakar yang katanya berilmu tinggi, tapi cuma bisa melihat pakai kacamata ‘keuntungan’, ‘laba’, ‘benefit’.
Seperti saya ulas pada artikel kemarin. Banyak pihak mendesak agar eksploitasi Blok Masela Abadi memakai metode Kilang LNG Darat atau OLNG. Metode ini akan membangun jaringan pipa gas bawah laut dari blok Masela di lautan lepas dan akan mengalirkan gas sejauh 150 kilometer ke Kilang Raksasa di Pulau Yamdena. Kilang tersebut diperkirakan memakan lahan seluas 800 hektar.
Di artikel saya sebelumnya, sudah diulas pembangunan OLNG berarti akan membabat hutan seluas 800 hektar yang akan berdampak signifikan bagi ekosistem Pulau Yamdena. Hasil penelitian Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebutkan, ketebalan tanah Pulau Yamdena hanya 20 cm, karena ia terletak di patahan.
Tipisnya lapisan tanah Pulau Yamdena membuat hutan menjadi faktor penting menjada ekosistem darat. Pembabatan hutan 800 hektar akan mengakibatkan erosi tanah dan pengeringan sumber mata air. Itu berarti, kesuburan tanah untuk produksi pangan serta ketersediaan air Pulau Yamdena terancam, gegara pembabatan hutan untuk bangun Kilang LNG Darat (OLNG).
Silahkan baca disini untuk artikel yang sebelumnya:
Kompasiana : Kilang LNG Darat (OLNG) Rusak Ekosistem Hutan Tanimbar
Kaskus : Kilang LNG Darat (OLNG) Rusak Ekosistem Hutan Tanimbar
Blog Detik : Kilang LNG Darat (OLNG) Rusak Ekosistem Hutan Tanimbar
Ternyata, bukan hanya ekosistem darat yang akan rusak akibat pembabatan hutan 800 hektar untuk bangun OLNG. Ekosistem perairan, khususnya Terumbu Karang juga akan rusak akibat pembangunan jaringan pipa gas bawah laut sejauh 150 kilometer dari Blok Masela Abadi ke Pulau Yamdena.
Gugus Kepulauan Tanimbar yang terdiri dari Pulau Yamdena, Pulau Selaru, Pulau Larat, Pulau Setu, Pulau Wuliaru dan sejumlah pulau kecil lainnya, merupakan salah satu areal Terumbu Karang penting di kawasan Indonesia Timur. Menjadi bagian dari jejaring ekosistem Terumbu Karang laut Banda dan berbatasan dengan jaringan Terumbu Karang Laut Arafura hingga ke Australia. Kawasan Indonesia hingga Australia memang kerap disebut kawasan Segitiga Emas Terumbu Karang.
Peta Google Earth di atas jelas memperlihatkan secara kasat mata bahwa gugus Kepulauan Tanimbar, seluruhnya dikelilingi areal Terumbu Karang (lihat areal warna biru muda). Pipa gas bawah laut mau masuk OLNG di Pulau Yamdena lewat mana? Harus babat Terumbu Karang.
Pola penangkapan ikan saja bisa mengancam habitat Terumbu Karang, sebagaimana menjadi perhatian WWF di Kepulauan Tanimbar. Apalagi pembangunan jaringan pipa bawah laut yang harus melalui areal Terumbu Karang agar bisa masuk ke Pulau Yamdena.
Simpel saja, pembangunan jaringan kabel Telkom dan PLN di jalan raya perkotaan saja harus merusak pinggiran jalan terlebih dahulu. Apalagi membangun jaringan pipa gas bawah laut di areal Terumbu Karang. Harus ada Terumbu Karang yang ‘dibunuh’ kan.
Ingat, Terumbu Karang adalah makhluk hidup. ‘Membunuh’ Terumbu Karang bisa dianggap sama dengan membunuh seekor kucing. Tega?
perti saya tekankan kemarin, saya tidak bela OLNG maupun Kilang LNG Terapung atau FLNG. Saya tegas menolak memakai kacamata ekonomi dalam menganalisa kilang mana yang lebih baik untuk Blok Masela Abadi. Ada faktor yang lebih penting dan harus didahulukan sebelum bicara uang, keuntungan dan aspek keuangan lainnya. Faktor kunci tersebut ialah faktor kelestarian lingkungan, dalam arti tidak merusak alam dan ekosistem manusia, flora dan fauna yang hidup di sekitarnya
Faktanya, Ekosistem Darat di Pulau Yamdena, karena posisi geologisnya di daerah patahan, lapisan tanahnya tipis, amat sangat bergantung pada kawasan Hutan guna menjaga kesuburan tanah dan ketersediaan air. Hajat hidup manusia, flora dan fauna di Pulau Yamdena jadi taruhan kalau tetap memaksa babat hutan seluas 800 hektar demi bangun Kilang LNG Darat (OLNG).
Faktanya lagi, Ekosistem Laut di Pulau Yamdena dan Kepulauan Tanimbar yang dikelilingi Terumbu Karang serta tengah terancam dan menjadi perhatian WWF, bisa makin rusak Terumbu Karangnya demi membangun jaringan pipa gas bawah laut sepanjang 150 kilometer (mengalirkan gas dari Blok Masela Abadi ke Kilang LNG Darat di Pulau Yamdena). Merusak Terumbu Karang berarti menghancurkan ekosistem Biota laut.
Alangkah baiknya semua pihak mengesampingkan dulu aspek-aspek keuangan dalam menganalisa polemik Kilang LNG Blok Masela Abadi di Pulau Yamdena.
Lihat dengan akal dan hati anda sebelum bicara melulu soal duit.
Tinjau baik-baik dampak pembabatan Hutan dan Terumbu Karang pada makhluk-makhluk hidup yang hidup disana, manusia, flora dan fauna darat serta biota laut, sebelum mengambil keputusan soal model pembangunan Kilang LNG.
Tanya ke hati anda, apakah layak mendapat keuntungan finansial, berapa pun besarnya itu, jika didapat dengan merusak alam dan habitat makhluk hidup di dalamnya.
Ada yang bilang pola pikir seperti saya ini bersifat ekstrim. Terlalu ideologis. Sok aktivis.
Saya tanya, mana yang lebih ekstrim, pola pikir saya yang mendahulukan keselamatan makhluk hidup sebelum bicara keuntungan finansial? Ataukah pola pikir pemangku kepentingan yang fokus membicarakan uang tanpa pernah menyebut sedikit pun soal pelestarian lingkungan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H