“Tidak pernah saya lupakan. Meski menyakitkan, tetap saja tidak bisa hilang dari ingatan.”
“Maafkan saya, telah membuat Anda kecewa.”
“Anda memang bukan yang terbaik untuk saya.”
“Ya. Tentu saja Anda lebih bahagia dengan lelaki di dekat air terjun itu.”
Aku tidak mau berbasa-basi lagi. Aku menyantap sate dan lontong yang sudah dingin. Meskipun tidak berselera, tetap saja aku paksakan untuk aku santap.
Lelaki itu mengangsurkan kartu nama. Sebenarnya aku tak memerlukannya, tapi untuk menghormatinya, kartu nama itu tetap aku terima.
“Terima kasih atas waktunya. Semoga kita bisa bertemu lagi.”
Lelaki yang 22 tahun silam menyakitiku mengulurkan tangannya. Kami berjabat tangan. Kemudian dia pergi. Aku perhatikan, lelaki itu menuju rombongan. Sepertinya keluarga besarnya.
Tak lama kemudian, lelaki itu datang bersama seorang perempuan tua.
“Ibu, Ibu masih kenal dengan dik Mursalin? Ini dik Mursalin, Ibu,”lelaki itu memperkenalkan.
“Selamat siang Ibu. Saya Mursalin,”kuulurkan tanganku pada perempuan itu.