Oleh : Noer Ima Kaltsum
Pagi ini aku sudah berhadapan dengan Gerojogan Sewu. Entahlah, aku ingin menikmati kesendirianku. Suasana belum begitu ramai. Pengunjung belum banyak yang datang, apalagi kali ini bukan hari libur. Aku benar-benar menikmatinya.
Aku ingin mengabadikan momen ini dengan mengambil gambar. Tapi aku memerlukan orang lain. Aku melihat beberapa orang yang memberikan jasa mengambil gambar dengan upah sekadarnya. Mereka memang professional fotografer. Akan tetapi fotografer yang ketrampilannya terasah hanya karena kebiasaan.
Senang rasanya aku sudah memiliki beberapa gambar. Ketika aku menjauh dari jembatan, mataku tertuju pada seorang perempuan yang enerjik. Tas berada di punggung dan kamera dipegang dengan tali dikalungkan ke lehernya. Meskipun berkerudung lebar, namun perempuan itu tetap kelihatan dinamis.
Tiba-tiba aku memperhatikan gerak-gerik perempuan tersebut. Dari cara memotret, mendekati orang lalu mengeluarkan hape dan mengajak bicara, perempuan ini layaknya wartawan. Wow, aku ingin mendekatinya, penasaran.
Perempuan itu mengambil tempat duduk di bawah pohon pinus. Ya, aku ingin mendekatinya, sekadar bertanya tentang profesinya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Bolehkah saya duduk di sebelah?”
“Boleh, silakan.”
“Boleh saya bertanya tentang sesuatu?”
“Silakan.”
“Maaf, saya harus memanggil mbak atau ibu?”
“Terserah saja.”
“Apakah mbak berprofesi sebagai wartawan?”
“Bukan. Saya penulis amatir.”
Perempuan itu mengangkat muka. Perempuan itu matanya melirik ke kiri. Kulihat di mata kanannya ada bintik hitam. Yup, aku pernah mengenal orang dengan ciri khas seperti itu. Tidak salah, suaranya bahkan aku juga mengenal.
“Benarkah, Anda bernama Ima?”
Perempuan itu menatapku.
“Ya. Dan Anda orang yang pernah meninggalkanku lalu menikah dengan perempuan lain”
“Maafkan, aku.”
“Terima kasih atas luka yang pernah kau torehkan. Maaf, aku harus pergi dan bekerja.”
Aku mengejarnya. Sebenarnya dia tidak buru-buru. Langkahnya santai, tapi tak peduli.
“Jangan kau ungkit luka lama.”
Seorang gadis dengan baju, kerudung dan pernak-pernik yang sama dengan perempuan itu tiba-tiba memanggil.
“Mami, aku di sini. Mami sudah selesai?”
“Sudah. Ayo, kita ke Candi Sukuh.”
Tiba-tiba kakiku tak bisa kugerakkan. Lidahku kelu, aku diam membisu. Perempuan itu Ima yang kutinggalkan 22 tahun yang silam.
Karanganyar, 27 Mei 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H