GURU DIPECAT DENGAN TIDAK HORMAT
Suasana di ruang guru sedikit tegang. Hari ini Bapak Kepala Sekolah memanggil seorang guru. Sepertinya ada masalah sepele yang dibesar-besarkan. Sudah menjadi kebiasaan, kasek yang baru ini selalu membesar-besarkan masalah. Bila orang lain menyederhanakan masalah yang kompleks, maka kasek akan sebaliknya.
Mereka sudah menduga kasek akan mengambil suatu keputusan besar terhadap salah seorang guru ini. Tapi banyak yang heran, Mursalin yang dipanggil kasek hari ini kelihatan biasa, santai. Masuk ruangan kasek dengan santun dan tersenyum ramah. Mursalin mengucapkan salam.
Di ruang tertutup itu hanya ada dua pasang mata. Dua orang yang saling berhadapan. Wajah kasek tidak ramah, mukanya memerah, sorot matanya tajam.
“Silakan Ibu duduk.”
“Terima kasih.”
“Ibu tahu mengapa saya panggil?”
“Tidak tahu karena sebelumnya saya tidak diberi tahu.”
“Ibu tahu kesalahan yang Ibu perbuat?”
“Saya tidak tahu. Tolong beri tahu saya Pak.”
“Saya pimpinan Ibu. Seharusnya Ibu menurut perintah saya.”
“Maaf, Pak dalam hal apa dulu? Masalah dinas atau pribadi?”
“Tentang tunjangan sertifikasi kemarin. Seharusnya setelah tunjangan cair Ibu melaporkan pada saya selaku pimpinan sekolah.”
“Pak, saya kemarin sudah bilang kalau saya belum bisa melaporkan tentang cairnya tunjangan sertifikasi. Saya belum tahu uang itu sumbernya dari mana? Sebab melihat saldo dari mesin ATM saja tidak dapat kita ketahui pemasukan itu dari mana. Mungkin saja dana itu bukan dari tunjangan sertifikasi, bisa saja dana itu berasal dari saudara saya atau honor pemuatan naskah, atau royalty penulisan buku.”
“Ibu masih saja membantah.”
“Saya bukan membantah Pak. Saya bicara apa adanya.”
“Perlu Ibu ketahui, bisa saja saya memecat Ibu karena Ibu tidak menghargai saya sebagai pimpinan.”
“Maaf, Pak. Tidak semudah itu Bapak bisa memecat saya. Secara dinas saya disiplin, saya belum pernah melakukan pelanggaran. Tapi saya tidak risau Pak. Saya tidak takut. Saya yakin teman-teman saya tidak bisa membela saya. Saya akan melayangkan surat keberatan ke Yayasan. Selain itu saya akan melaporkan Bapak ke dinas.”
“Tentang apa Ibu akan melaporkan saya?”
“Tentang pemalsuan dokumen. Hari ini juga saya bisa melaporkan ke kantor dinas. Saya yakin langsung ditanggapi atas surat saya.”
Kasek diam, mematung. Dia tak bisa berbuat banyak. Wajahnya pasi. Tanpa basa-basi kasek meminta Mursalin meninggalkan ruangan kasek.
00000
Pagi harinya, suasana kantor agak heboh. Hari ini kasek tidak masuk kerja di sekolah dikarenakan sakit. Tadi malam sempat masuk ICU karena serangan jantung. Mursalin yang merasa tidak bersalah sama sekali sangat terpukul. Seharusnya dia kemarin siang yang mengalami serangan jantung ketika kasek mengatakan akan memecat dia, diberhentikan dengan tidak hormat. Ini malah sebaliknya.
Sepulang sekolah kemarin Mursalin sudah memaafkan kasek kalau beliau bersalah (itu dalam hati saja). Hari ini teman-teman guru dan karyawan akan menjenguk kasek. Mursalin juga ikut membezuk.
Sebelum masuk bangsal di mana kasek dirawat, Mursalin dicegat (waduh agak kasar ya) saudara kasek.
“Bu Mursalin, saya ingin bicara dengan panjenegan.”
Mursalin dan saudara kasek menjauh dari pengunjung. Perbincangan mereka cukup hangat, bahkan sepertinya tak ada masalah apa-apa. Sesekali mereka melempar senyum. Setelah bincang-bincang usai, Mursalin masuk kamar kasek.
00000
Senin, 17 Agustus 2015.
Hari ini aku merdeka, bebas dari penjajahan. Kalau selama ini aku dijajah dan selalu disudutkan oleh Heru, sekarang tidak lagi. Selama dua tahun Heru menjadi wakil kepala sekolah, sekarang menjadi kasek. Heru selalu menganggapku salah meski aku tak pernah melakukan kesalahan.
Yang terakhir adalah beberapa hari yang lalu, aku dan dia sama-sama berstatus guru tetap yayasan, seharusnya menerima tunjangan profesi. Tunjangan profesiku sudah cair, sementara dia belum cair. Katanya, seharusnya aku melaporkan kalau tunjangan profesiku sudah cair bukan hanya diam saja. Bagiku itu tidak penting. Aku mau melaporkan tunjangan profesiku sudah cair kalau aku sudah mencetak rekening Koran. Itu artinya hari Selasa yang akan datang.
Aku dianggap tidak menghargai Heru sebagai pimpinan. Menurutku bukan itu alasannya. Alasan yang kuat adalah dia merasa paling merana sedunia gara-gara tunjangan profesinya belum cair.
Kekesalannya padaku yang menumpuk itulah dia ucapkan di depanku kalau bisa memecatku dengan tidak hormat. Itu tidak mungkin. Karena dia tidak memiliki alasan untuk memecatku. Yayasan yang mempunyai sekolah ini masih saudara Heru. Tapi mereka melihat kinerjaku baik. Selain itu aku loyal. Tak ada alasan untuk memecatku.
By Mursalin
(Selesai)
Karanganyar, 17 Agustus 2015
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Fiktif tenan, ora tenanan. Ora ana hubungane karo sapa-sapa. Aja dilebokke ati. Yen ana jeneng, panggon lan crita sing padha, kuwi mung kepeneran wae.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H