Mohon tunggu...
Noer Ashari
Noer Ashari Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Ketik

Mengungkapkan Keresahan Melalui Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Motivator dan Klaim Memulai dari Nol: Jangan Percaya Begitu Saja

2 Januari 2025   14:46 Diperbarui: 2 Januari 2025   20:36 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI Motivator. | Pexels. Matheus Bertelli

Pernah dengar motivator yang bilang, "Saya memulai semuanya dari nol".

Narasi ini memang sering sekali muncul di seminar-seminar motivasi. Alasannya jelas, karena cerita semacam ini bisa membuat audiens merasa relate. 

Pesannya seolah-olah begini: "Kalau saya yang dulu nggak punya apa-apa aja bisa sukses, berarti kamu juga pasti bisa!

Nah, narasi ini powerful banget karena menyentuh sisi emosional kita, apalagi bagi orang-orang yang lagi merasa stuck atau kehilangan harapan.  

Tapi masalahnya, apa benar mereka benar-benar memulai dari nol? Atau "nol" mereka ini definisinya beda sama "nol" versi kita? 

Yang membuat bingung adalah ketika cerita mereka mulai berbelok ke arah yang kurang masuk akal. Misalnya, di tengah cerita mereka tiba-tiba bilang, 

"Waktu saya kuliah di Harvard, saya belajar banyak hal.Tunggu, apa? Kuliah di Harvard itu nol?  

Jujur, ketika saya mendengar kalimat itu di salah satu seminar, saya langsung merasa ada yang tidak sinkron. Dari awal dia bilang nggak punya apa-apa, lalu tiba-tiba menyebut Harvard. 

Nah, di situ saya mulai berpikir, "Ini motivator serius atau lagi main-main?" Meskipun ada juga hal positif yang bisa kita ambil dari perkataan sang motivator, tapi kalimat "mulai dari nol" sebaiknya diganti dengan kalimat-kalimat yang lebih realistis. 

Kisah semacam ini mungkin tidak hanya saya yang mengalami. Banyak juga orang yang mulai skeptis dengan seminar motivasi karena narasi mereka tidak realistis. 

Bukannya termotivasi, malah jadi merasa jauh dari kenyataan. Kalau sudah begini, siapa yang salah? Narasi "memulai dari nol" ini bukannya membangun semangat, malah membuat kita bertanya-tanya: 

Nolnya mereka itu nol beneran atau nol yang udah ditambah privilese segudang

Kisah sukses dari nol itu selalu punya daya tarik tersendiri. Kenapa? Karena cerita seperti ini membuat audiens merasa ada harapan. 

Apalagi bagi orang-orang yang sedang merasa mentok dalam hidup. Narasi ini seolah-olah memberikan pesan: Lihat, saya aja yang dulu nggak punya apa-apa bisa sukses, kamu juga pasti bisa!”  

Selain itu, manusia pada dasarnya suka dengan cerita perjuangan. Kita semua ingin percaya kalau kesuksesan itu hasil kerja keras, bukan hanya soal keberuntungan atau privilese. 

Narasi "dari nol" juga sering memberikan ilusi kesetaraan, seolah-olah semua orang punya peluang yang sama untuk sukses. Jadi, nggak heran kalau banyak motivator pakai trik ini untuk menyentuh emosi audiens.  

Tapi, ya, ada tapinya nih. Cerita "dari nol" sering kali terlalu manis untuk jadi kenyataan. Misalnya, apa benar mereka benar-benar mulai dari nol? 

Atau itu hanya bagian dari storytelling supaya terlihat lebih dramatis?    

Ketika Bapak Motivator bilang, "Saya memulai semuanya dari nol." Oke, awalnya saya cukup impressed. Tapi di tengah-tengah ceritanya, dia bilang begini: "Waktu saya kuliah di Harvard..."

Tunggu dulu. Kuliah di Harvard? Itu nol? Nol versi siapa? Kita semua tahu, masuk Harvard itu butuh uang, akses, dan koneksi. Kalau punya semua itu, ya jelas bukan nol. Itu sudah minus nol besar!  

Bukan hanya itu, saya juga pernah mendengar motivator lain bilang kalau dia dulu "nggak punya apa-apa," tapi ternyata lahir di keluarga yang punya usaha besar. 

Dia hanya tinggal meneruskan, lalu sukses besar. Nah, bagaimana audiens yang benar-benar memulai dari bawah harus merasa relate dengan perkataan mereka?  

Klaim-klaim seperti ini, bisa membuat audiens malah merasa gagal. Bukannya termotivasi, mereka bisa saja berpikir,Kalau dia saja yang dari Harvard bilang mulai dari nol, saya yang hanya lulusan SMA ini bagaimana nasibnya?” 

Sebenarnya nggak apa-apa kok bilang, Saya punya privilese, tapi ini yang saya lakukan untuk memanfaatkannya dengan baik.

Itu justru lebih relatable dan lebih ampuh untuk menginspirasi orang lain dengan cara yang realistis. Karena pada akhirnya, orang butuh cerita yang tidak hanya indah, tapi juga nyata.  

Jadi, lain kali dengar motivator, jangan langsung percaya. Selalu tanyakan dalam hati: "Ini benar-benar nol atau nol yang sudah bonus privilese?"

Dari cerita ini, ada satu hal penting yang perlu kita ingat: jangan telan mentah-mentah semua ucapan motivator, apalagi kalau mereka bilang memulai dari nol. 

Karena sering kali, di balik narasi dramatis itu, ada privilese besar yang tidak diceritakan. Jadi, penting untuk kita mendekati cerita mereka dengan kritis. 

Tanyakan, “Apa ini benar relevan dengan kondisi saya?” Jangan sampai kita terjebak dalam cerita manis yang tidak realistis.  

Daripada fokus pada hal-hal yang terlalu bombastis, lebih baik kita cari langkah praktis yang sesuai dengan situasi kita. Nggak perlu muluk-muluk, yang penting realistis dan bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. 

Kalau kamu cuma punya modal kecil, ya mulailah dari apa yang bisa kamu kerjakan sekarang. Kalau kamu punya privilese, manfaatkan itu dengan bijak. 

Intinya, jangan bandingkan perjalanan kita dengan cerita orang lain yang nggak sepenuhnya transparan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun