Bukannya termotivasi, malah jadi merasa jauh dari kenyataan. Kalau sudah begini, siapa yang salah? Narasi "memulai dari nol" ini bukannya membangun semangat, malah membuat kita bertanya-tanya:
Nolnya mereka itu nol beneran atau nol yang udah ditambah privilese segudang?
Kisah sukses dari nol itu selalu punya daya tarik tersendiri. Kenapa? Karena cerita seperti ini membuat audiens merasa ada harapan.
Apalagi bagi orang-orang yang sedang merasa mentok dalam hidup. Narasi ini seolah-olah memberikan pesan: “Lihat, saya aja yang dulu nggak punya apa-apa bisa sukses, kamu juga pasti bisa!”
Selain itu, manusia pada dasarnya suka dengan cerita perjuangan. Kita semua ingin percaya kalau kesuksesan itu hasil kerja keras, bukan hanya soal keberuntungan atau privilese.
Narasi "dari nol" juga sering memberikan ilusi kesetaraan, seolah-olah semua orang punya peluang yang sama untuk sukses. Jadi, nggak heran kalau banyak motivator pakai trik ini untuk menyentuh emosi audiens.
Tapi, ya, ada tapinya nih. Cerita "dari nol" sering kali terlalu manis untuk jadi kenyataan. Misalnya, apa benar mereka benar-benar mulai dari nol?
Atau itu hanya bagian dari storytelling supaya terlihat lebih dramatis?
Ketika Bapak Motivator bilang, "Saya memulai semuanya dari nol." Oke, awalnya saya cukup impressed. Tapi di tengah-tengah ceritanya, dia bilang begini: "Waktu saya kuliah di Harvard..."
Tunggu dulu. Kuliah di Harvard? Itu nol? Nol versi siapa? Kita semua tahu, masuk Harvard itu butuh uang, akses, dan koneksi. Kalau punya semua itu, ya jelas bukan nol. Itu sudah minus nol besar!
Bukan hanya itu, saya juga pernah mendengar motivator lain bilang kalau dia dulu "nggak punya apa-apa," tapi ternyata lahir di keluarga yang punya usaha besar.