Zaman sekarang, rasanya semua hal nggak bisa lepas dari kamera dan media sosial. Lagi makan? Foto dulu. Lagi liburan? Bikin video dulu.Â
Bahkan, kalau ada yang bantu orang lain, langsung rekam dan upload. Pertanyaannya, niat bantu itu sebenarnya buat bantu beneran atau biar dapet like dan komen?
Coba bayangin, ada orang kasih sembako ke tetangga yang lagi kesusahan, tapi sambil membawa tim kamera untuk dokumentasi.Â
Apakah tindakan tersebut benar-benar menunjukkan kepedulian, atau hanya sekedar upaya untuk terlihat baik di depan publik?Â
Terlebih jika disertai dengan keterangan dramatis seperti, 'Kebaikan itu harus dibagikan.' Namun, pertanyaannya adalah, dibagikan kepada siapa? Kepada mereka yang membutuhkan, atau kepada para pengikut di media sosial?
Hampir setiap hari kita melihat aksi-aksi kedermawanan yang diunggah di media sosial. Mulai dari bagi-bagi sembako,menyumbang uang ke orang tidak mampu, sampai bantu korban bencana—semuanya direkam, di-edit sedemikian rupa, lalu di-post dengan judul yang eye-catching.Â
Banyak orang yang memuji, katanya ini bentuk inspirasi agar lebih banyak orang tergerak untuk membantu.
Tapi di sisi lain, tidak sedikit juga yang mulai skeptis. Mereka bertanya-tanya, "Ini niat bantu karena peduli, atau cuma mau cari perhatian?"Â
Apalagi kalau videonya lebih fokus ke wajah si pemberi ketimbang orang yang menerima bantuan. Ditambah lagi dengan efek dramatis—slow motion, musik melankolis, dan angle kamera yang sempurna—membuat kita jadi semakin bingung: apakah kebaikan itu dilakukan karena tulus, atau karena ingin viral?
Fenomena ini memang jadi dilema. Di satu sisi, publikasi bisa memperluas jangkauan bantuan dan menginspirasi banyak orang. Tapi di sisi lain, publikasi juga bisa mengaburkan niat asli dari kedermawanan itu sendiri.Â
Akhirnya, yang muncul adalah perdebatan: apakah ini murni tindakan sosial, atau hanya strategi untuk meningkatkan citra di dunia maya?
Tidak bisa dipungkiri, konten tentang kebaikan itu punya efek domino yang besar. Misalnya, ada orang yang sebelumnya nggak pernah kepikiran untuk donasi, tiba-tiba terinspirasi setelah nonton video orang bagi-bagi makanan ke tunawisma.Â
Banyak juga yang akhirnya merasa, "Oh, ternyata saya juga bisa bantu orang lain, meskipun cuma sedikit."
Publikasi ini juga kadang membantu membuka mata masyarakat soal isu-isu yang mungkin mereka nggak tahu. Misalnya, kondisi korban bencana di daerah terpencil atau orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.Â
Dengan bantuan media sosial, pesan ini bisa tersebar luas dan menggugah empati banyak orang. Jadi, publikasi ini kadang lebih dari sekedar "show off"—bisa jadi pemicu perubahan nyata.
Tapi, ada juga sisi lain yang membuat orang jadi skeptis. Ketika aksi kebaikan lebih sering diiringi kamera profesional, caption dramatis, dan musik latar yang bikin baper, orang jadi bertanya-tanya: "Ini beneran peduli, atau cuma pengen ngonten aja?"Â
Apalagi kalau wajah si pemberi bantuan lebih sering muncul di kamera daripada orang yang menerima bantuan.
Masalahnya, kalau motivasi dasarnya hanya untuk mencari pengakuan atau pansos, kebaikan itu jadi terasa hambar. Alih-alih memusatkan perhatian pada orang yang membutuhkan, publikasi seperti ini malah memanfaatkan penderitaan mereka untuk keuntungan pribadi.Â
Padahal, esensi dari kedermawanan itu sendiri adalah memberi tanpa pamrih, betul tidak?
Nah, sekarang coba kita renungkan bareng-bareng: apa sebenarnya tujuan dari mempublikasikan kedermawanan? Apakah memang untuk menginspirasi orang lain agar ikut berbuat baik, atau hanya ingin mencari validasi dari followers?
Di satu sisi, ada manfaat yang nggak bisa diabaikan—lebih banyak orang tergerak untuk membantu. Tapi di sisi lain, kita juga harus hati-hati supaya niat baik nggak berubah jadi ajang pamer.Â
Jadi, mungkin pertanyaannya bukan hanya "perlukah dipublikasikan?" tapi juga "bagaimana cara mempublikasikannya tanpa merusak esensi dari kebaikan itu sendiri?"Â
Tindakan kebaikan seharusnya berfokus pada dampak positif yang dihasilkan, bukan pada jumlah likes atau views yang diperoleh.Â
Sebab, pada hakikatnya, kedermawanan yang tulus adalah yang dilakukan tanpa mengharapkan perhatian atau sorotan publik.
Pada akhirnya, kedermawanan itu tentang niat, bukan sekedar aksi yang terlihat. Apakah bantuan yang kita berikan akan lebih bermakna jika tidak diiringi sorotan kamera?Â
Mungkin, dengan tidak mempublikasikannya, kita justru mengajarkan nilai keikhlasan yang lebih dalam, baik kepada diri sendiri maupun orang lain.
Kebaikan itu nggak harus selalu diumumkan ke seluruh dunia untuk diakui. Apa yang kita lakukan, sekecil apa pun itu, tetap punya dampak besar kalau dilakukan dengan hati yang tulus.
Saat kita berbuat baik, apakah kita benar-benar fokus pada membantu orang lain, atau malah sibuk memikirkan bagaimana penampilan kita di mata publik?Â
Toh, pada akhirnya, kebaikan sejati akan selalu meninggalkan jejak, meskipun tak ada kamera yang merekamnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H