Akhirnya, yang muncul adalah perdebatan: apakah ini murni tindakan sosial, atau hanya strategi untuk meningkatkan citra di dunia maya?
Tidak bisa dipungkiri, konten tentang kebaikan itu punya efek domino yang besar. Misalnya, ada orang yang sebelumnya nggak pernah kepikiran untuk donasi, tiba-tiba terinspirasi setelah nonton video orang bagi-bagi makanan ke tunawisma.Â
Banyak juga yang akhirnya merasa, "Oh, ternyata saya juga bisa bantu orang lain, meskipun cuma sedikit."
Publikasi ini juga kadang membantu membuka mata masyarakat soal isu-isu yang mungkin mereka nggak tahu. Misalnya, kondisi korban bencana di daerah terpencil atau orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.Â
Dengan bantuan media sosial, pesan ini bisa tersebar luas dan menggugah empati banyak orang. Jadi, publikasi ini kadang lebih dari sekedar "show off"—bisa jadi pemicu perubahan nyata.
Tapi, ada juga sisi lain yang membuat orang jadi skeptis. Ketika aksi kebaikan lebih sering diiringi kamera profesional, caption dramatis, dan musik latar yang bikin baper, orang jadi bertanya-tanya: "Ini beneran peduli, atau cuma pengen ngonten aja?"Â
Apalagi kalau wajah si pemberi bantuan lebih sering muncul di kamera daripada orang yang menerima bantuan.
Masalahnya, kalau motivasi dasarnya hanya untuk mencari pengakuan atau pansos, kebaikan itu jadi terasa hambar. Alih-alih memusatkan perhatian pada orang yang membutuhkan, publikasi seperti ini malah memanfaatkan penderitaan mereka untuk keuntungan pribadi.Â
Padahal, esensi dari kedermawanan itu sendiri adalah memberi tanpa pamrih, betul tidak?
Nah, sekarang coba kita renungkan bareng-bareng: apa sebenarnya tujuan dari mempublikasikan kedermawanan? Apakah memang untuk menginspirasi orang lain agar ikut berbuat baik, atau hanya ingin mencari validasi dari followers?
Di satu sisi, ada manfaat yang nggak bisa diabaikan—lebih banyak orang tergerak untuk membantu. Tapi di sisi lain, kita juga harus hati-hati supaya niat baik nggak berubah jadi ajang pamer.Â