Sebagai tokoh publik, Gus Miftah seharusnya lebih bijak dalam memilih kata-kata, apalagi di situasi seperti ini. Candaan yang mungkin dianggap lucu oleh sebagian orang ternyata bisa menjadi penghinaan bagi orang lain, apalagi jika menyangkut harga diri.Â
Menurut Greene, menjaga ego orang lain adalah bentuk strategi sosial yang cerdas, karena harga diri adalah hal yang sangat sensitif. Â
Kasus ini memberikan pelajaran berharga bahwa menjaga ego orang lain bukan hanya soal menghormati, tapi juga mencegah konflik yang tidak perlu. Bagi siapa pun, baik tokoh masyarakat maupun orang biasa, kehati-hatian dalam berbicara itu penting.Â
Karena seperti yang ditulis Greene, "menjatuhkan harga diri seseorang dapat menimbulkan kebencian yang berbahaya."Gus Miftah mungkin tidak berniat buruk, tapi akibat dari kata-katanya menunjukkan bahwa dalam dunia sosial, niat baik saja tidak cukup.Â
Kasus Gus Miftah dan penjual es teh ini sebenarnya seperti kaca besar yang memperlihatkan pentingnya menjaga ucapan kita, terutama di depan orang lain. Ada empat hikmah yang bisa kita ambil, baik untuk masyarakat umum maupun tokoh publik. Â
1. Untuk Kita Semua: Jangan Asal Bicara, Jaga Harga Diri Orang Lain
Kata-kata itu ibarat pedang: sekali terucap, efeknya bisa melukai, apalagi kalau menyentuh hal sensitif seperti harga diri. Sunhaji, penjual es teh, mungkin sederhana dalam kehidupannya, tapi tetap punya harga diri yang perlu dihormati.Â
Kalau kita tidak mau diperlakukan seperti itu, ya jangan melakukannya pada orang lain. Â
Dalam interaksi sehari-hari, entah di rumah, tempat kerja, atau media sosial, menjaga kehormatan orang lain itu penting sekali. Robert Greene dalam bukunya bilang, "Menjatuhkan harga diri seseorang dapat menimbulkan kebencian yang berbahaya."
Jadi, jangan pernah meremehkan dampak ucapan kita, karena bisa jadi luka yang kita tinggalkan lebih dalam dari yang kita bayangkan. Â
2. Untuk Tokoh Publik: Kata-Kata Itu Tanggung Jawab BesarÂ
Untuk tokoh masyarakat seperti Gus Miftah, kasus ini adalah pengingat keras bahwa setiap ucapan itu membawa konsekuensi, apalagi di era digital. Segala sesuatu bisa direkam, disebar, dan dikomentari.Â
Ketika berbicara di depan publik, guyonan yang salah tempat bisa berbalik menyerang. Â