Begitulah kronologi singkat kasus ini, yang pada akhirnya menjadi pengingat penting tentang bagaimana sebuah kata bisa berdampak besar, apalagi jika menyentuh harga diri seseorang.Â
Kalau kita lihat kasus Gus Miftah dan Sunhaji ini, jelas sekali bahwa kejadian ini bisa didekati dengan salah satu prinsip dari 48 Hukum Kekuasaan karya Robert Greene: "Jangan pernah melukai ego atau harga diri seseorang." Dalam buku itu, Greene menekankan bahwa melukai harga diri orang lain, apalagi di depan umum, adalah langkah yang sangat berbahaya karena bisa menciptakan permusuhan yang kuat dan sulit diredakan. Â
Dalam konteks ini, ucapan Gus Miftah yang terdengar merendahkan Sunhaji, meski mungkin niatnya hanya untuk bercanda, ternyata berdampak jauh lebih besar dari yang dibayangkan. Kata goblok, meski mungkin biasa dalam gaya komunikasi sehari-hari, terasa sangat menohok ketika diarahkan pada seseorang yang sedang berjuang mencari nafkah.Â
Terlebih lagi, ucapan ini dilontarkan di depan banyak orang, membuat Sunhaji berada dalam posisi yang sangat tidak nyaman. Â
Kalau kita hubungkan dengan prinsip dalam buku Greene, kejadian ini menunjukkan bagaimana ego yang terluka bisa memicu efek domino. Tidak hanya melukai perasaan Sunhaji, tapi juga menciptakan kemarahan publik yang besar.Â
Warganet merasa tindakan Gus Miftah tidak mencerminkan empati, terutama karena dilakukan oleh seorang tokoh agama yang seharusnya menjadi teladan. Â
Kemarahan ini tidak hanya berhenti di media sosial, tapi sampai ke tingkat nasional. Presiden melalui Sekretaris Kabinet ikut turun tangan, petisi online muncul, bahkan akhirnya Gus Miftah harus mundur dari jabatannya.Â
Ini semua terjadi karena satu kata yang mungkin terlihat sepele, tapi efeknya luar biasa besar. Seperti yang Greene bilang, "ego yang terluka bisa menciptakan permusuhan yang kuat."
Kepada seluruh tokoh masyarakat, terutama yang sering berbicara di depan umum, kasus ini adalah pengingat penting bahwa kata-kata punya kekuatan besar. Komunikasi publik bukan cuma soal menyampaikan pesan, tapi juga soal menghormati audiens.Â
Setiap kata yang keluar harus dipikirkan dampaknya, terutama di era digital di mana apa pun bisa direkam, disebarkan, dan diinterpretasikan dengan berbagai cara. Â