Mohon tunggu...
Noer Ashari
Noer Ashari Mohon Tunggu... Lainnya - Kepala Tata Usaha

Mengungkapkan Keresahan Melalui Tulisan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Apakah "Skill Menjilat" Membenarkan Tujuan?

13 September 2024   14:35 Diperbarui: 15 September 2024   16:18 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Skill menjilat" mungkin sudah bukan hal asing lagi di dunia kerja. Sederhananya, ini adalah perilaku manipulatif di mana seseorang berusaha mendekati atau membuat atasan terkesan dengan cara yang seringkali tidak jujur atau berlebihan, hanya demi keuntungan pribadi. 

Anehnya, meski perilaku ini jelas tidak disukai banyak orang, faktanya banyak yang tetap melakukannya. Kenapa? Karena, suka atau tidak, sering kali "menjilat" bisa membuat seseorang mendapatkan posisi lebih baik atau perhatian lebih dari bos.

Nah, pertanyaannya sekarang, apakah cara seperti ini bisa dibenarkan kalau hasilnya positif? Apakah sukses di atas dasar manipulasi masih bisa dianggap sah?

"Skill menjilat" sebenarnya adalah kemampuan untuk membuat atasan atau orang berpengaruh merasa disukai, dipuji, atau dihormati secara berlebihan, meskipun kadang tidak tulus. Intinya, ini lebih tentang cari muka, bukan kerja keras. 

Inilah contoh perilaku menjilat yang sering terjadi di kantor:

  • Mendukung apa pun yang dikatakan atasan, walaupun sebenarnya salah. Daripada jujur, lebih memilih diam atau bahkan ikut setuju.
  • Mengklaim hasil kerja tim atau orang lain sebagai milik sendiri. Ini sering terjadi di proyek-proyek bersama, di mana si penjilat menghadap bos duluan dan mengambil kredit.
  • Selalu mengikuti pendapat atasan tanpa ada masukan kritis, padahal mungkin punya ide yang lebih baik, tapi takut disalahkan atau ingin terlihat "baik" di mata bos.

Perilaku-perilaku ini sering kali dipakai demi mendapatkan promosi, perhatian khusus, atau bahkan sekedar "perlindungan" dari atasan.

Orang memilih "skill menjilat" karena, dalam jangka pendek, memang ada keuntungan yang bisa didapat. Misalnya, peluang untuk naik jabatan jadi lebih besar karena si penjilat selalu membuat atasan merasa nyaman dan didukung. 

Atasan yang merasa "dijilat" biasanya lebih suka dengan orang yang nggak bikin pusing, apalagi kalau selalu setuju dengan apa yang mereka katakan.

Selain itu, dengan menjilat, orang bisa dapat perhatian lebih dari atasan. Misalnya, si bos lebih sering mengajak ngobrol atau bahkan kasih tugas-tugas penting yang bisa jadi batu loncatan untuk kariernya. 

Yang paling penting, penjilat juga sering kali mendapat akses ke informasi-informasi penting di kantor, yang mungkin tidak didapat orang lain. Jadi, mereka bisa selalu satu langkah lebih maju dibanding yang lain.

Namun, meski kelihatannya menguntungkan di awal, ini lebih seperti "jalan pintas". Hasilnya mungkin cepat, tapi sering tidak bertahan lama.

Meski di awal "skill menjilat" bisa bikin seseorang terlihat sukses, dampak negatifnya tidak bisa diabaikan, baik untuk individu maupun lingkungan kerja secara keseluruhan. 

Bagi si penjilat sendiri, lama kelamaan orang akan mulai sadar dengan perilakunya. Akibatnya, kepercayaan dari rekan kerja hilang. 

Orang-orang jadi enggan kerja bersama, karena tahu bahwa dia lebih suka menjilat daripada bekerja keras. Dalam jangka panjang, reputasi yang rusak ini bisa bikin susah untuk maju lebih jauh, karena sulit dipercaya lagi.

Bagi lingkungan kerja, dampak negatifnya lebih besar lagi. Pertama, moral tim bisa turun. Ketika orang yang "kerja jujur" lihat penjilat yang terus-terusan dapat promosi atau perhatian khusus, mereka jadi merasa usaha keras mereka tidak dihargai. Ini bisa membuat orang-orang kehilangan semangat, bahkan bisa menciptakan rasa iri dan frustrasi.

Selain itu, budaya kerja juga jadi tidak sehat. Alih-alih fokus pada kolaborasi dan kualitas kerja, orang-orang malah mulai ikut-ikutan "menjilat" supaya tak ketinggalan. Kantor yang harusnya jadi tempat kerja produktif malah berubah jadi ajang kompetisi tidak sehat untuk cari muka.

Apakah sukses yang didapat dengan cara menjilat benar-benar layak? 

Kalau dilihat lebih dalam, jawabannya sering kali tidak. Mungkin si penjilat bisa mencapai tujuannya, entah itu promosi, perhatian bos, atau posisi nyaman. Tapi, harga yang harus dibayar juga tidak murah.

Pertama, integritas si penjilat jadi taruhannya. Ketika seseorang lebih memilih jalan pintas daripada kerja keras dan jujur, dia secara tidak sadar melepaskan prinsip-prinsip etis yang seharusnya dijunjung tinggi. Mungkin di luar terlihat sukses, tapi di dalamnya, ada sesuatu yang hilang, seperti rasa bangga karena hasil kerja sendiri.

Selain itu, respect dari rekan kerja juga perlahan menghilang. Orang-orang di sekitar mulai melihat si penjilat dengan sinis, dan ini bisa membuat hubungan di kantor jadi dingin. 

Tidak ada yang suka kerja bersama orang yang manipulatif atau cari muka. Jadi, meskipun tujuan tercapai, si penjilat mungkin akan merasa terisolasi atau bahkan kehilangan dukungan dari kolega yang sebenarnya lebih penting dalam jangka panjang.

Jadi, apakah cara itu membenarkan hasilnya? 

Mungkin di jangka pendek terlihat oke, tapi dalam jangka panjang, harga yang dibayar, seperti kehilangan integritas dan respect, sering kali tidak sebanding dengan hasil yang didapat.

Meskipun "skill menjilat" mungkin terlihat menguntungkan di awal, terutama dalam hal mendapatkan perhatian bos atau naik jabatan, dampaknya di jangka panjang justru lebih merugikan. 

Reputasi dan kepercayaan yang hilang, baik dari rekan kerja maupun diri sendiri, adalah harga mahal yang harus dibayar. Integritas dan respect itu tidak bisa dibeli, dan sekali hilang, sulit untuk mendapatkannya kembali.

Jadi, sebelum memutuskan untuk pakai cara ini, penting bagi kita untuk mempertimbangkan etika dan integritas dalam perjalanan karier. 

Sukses yang diraih dengan kerja keras dan kejujuran mungkin lebih lambat datangnya, tapi hasilnya jauh lebih memuaskan dan bisa bertahan lebih lama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun