Setiap orang tanpa terkecuali pasti memiliki kemampuan marah. Marah adalah luapan emosi yang dapat dirasakan seseorang tanpa terkecuali ketika ia merasakan sesuatu yang kurang berkenan atau tidak sesuai dengan keinginannya.Â
Marah alamiahnya merupakan sebuah reaksi yang normal saja karena siapa pun dapat merasakannya.
Ketika berpikir tentang anak-anak pemarah, pastilah kita beranggapan bahwa anak yang pemarah tumbuh dalam keluarga yang selalu memberi label "pemarah" kepada anak tersebut.Â
Anak-anak yang dibandingkan dengan saudara-saudaranya, dia jauh lebih mungkin mengamuk, memukul saudara-saudaranya, dan meneriaki orang tuanya.Â
Mengkhawatirkan bukan ayah-bunda? Nah lalu bagaimana caranya kita sebagai orang tua dapat membantu ananda yang pemarah?
Pada sebuah tayangan di media sosial, kita bisa menyaksikan bagaimana anak-anak menunjukkan kemarahannya tanpa mempertimbangkan kepada siapa dan bagaimana ananda menunjukkan kemarahan.Â
Hal ini cukup memprihatinkan dan tidak hanya bisa selesai dengan mengatakan "skorsing/ time out" dan pemberian hukuman kepadanya. Namun perlu ada pemberian pemahaman tentang apa dan bagaimana caranya marah.
Sejak dini anak-anak tetap perlu ditanamkan etika dan moral yang baik yang berkaitan dengan bagaimana mengelola emosinya kepada siapa dan bagaimana.Â
Jangan sampai kita sebagai orang tua menyesal karena telah melakukan pembiaran dan berharap bahwa ananda akan mengerti seiring berjalannya waktu.Â
No, tidak bisa begitu ya ayah-bunda. Jika kita hanya melakukan skorsing dan memberi hukuman kepada ananda tanpa mengajari ananda mengelola emosi tiap kali ananda mulai berteriak, memukul, atau mengamuk, lalu kita menghukum ananda dengan berteriak balik...
INI TIDAK BAIK! PIKIRKAN APA YANG TELAH ANANDA LAKUKAN! Minta ananda menguasai diri ananda sendiri. Agar lebih mudah mengenali emosi ananda sendiri.
Mungkin ananda akan pergi ke kamarnya. Tapi alih-alih memikirkan tentang apa yang telah dia lakukan, dia akan berpikir tentang betapa buruknya dia sebagai anak.Â
Ananda tidak tahu mengapa dia tidak bisa mengendalikan tubuhnya. Dan ketika ananda berhenti memukul, berteriak, dan mengamuk, dan orang tuanya mengira disiplin ananda berhasil! Tapi secara internal, ananda pasti sedang berjuang. Berjuang bagaimana menguasai diri ananda sendiri.
Ananda bergumul dengan perasaan marah, tetapi tidak bisa menceritakannya kepada orang tuanya. Tiap kali ananda marah, sebenarnya ananda merasa malu. Tentu ananda pun berharap bisa seperti saudara-saudaranya.Â
Mungkin saat itu ananda mulai mengendalikan diri dengan menghabiskan sebagian besar waktunya bermain video game dan menyendiri. Dia percaya sendirian dengan amarah lebih baik karena dia tidak bisa menyakiti siapa pun.Â
Namun ini akan berlangsung terus tanpa penanganan yang baik bahwa marahpun ada manfaatnya bagi ananda. Atau bisa jadi ananda akan mencari pelarian lain saat marah dengan pergi kapan saja saat dia merasa marah atau kesal.Â
Ananda tidak pernah tahu bagaimana mengungkapkan kemarahannya dengan cara yang sehat. Setiap kali ada pertengkaran kemudian pergi ke ruangan lain, mundur, tentunya hal ini butuh dukungan untuk diperhatikan. Bukan selesai dengan begitu saja.
Hal yang perlu dipahami adalah bahwa kemarahan bukanlah hal yang salah. Dengan marah bukan berarti menjadi anak nakal.Â
Jika Ananda hanyalah anak yang sangat sensitif tanpa alat yang dia butuhkah untuk melepaskan perasaannya dengan cara yang sehat. Ayah-bunda perlu mengubah pandangan ini.Â
Lalu bagaimana mengajari ananda untuk mengatur emosi mereka?
Untuk mengajari ananda bagaimana mengatur emosinya bukan dengan melakukan diskusi panjang tentang perasaan.
Bukan dengan mengajari ananda tentang kata-kata senang, sedih, frustrasi dan marah. Itu hanya bagian dari literasi bukan cara mengatur emosional diri.
Bukan dengan menghukum ananda atau bahkan mengancam ananda ketika ananda sedang mengamuk dan marah/ tantrum.
Bukan dengan membacakan ananda buku-buku tentang emosi, meskipun hal ini baik untuk mengajarkan ananda bagaimana mengatur emosi mereka.Â
Ananda belajar melalui kita sebagai orang tuanya bagaimana mengatur diri sendiri 100 kali. Tentu saja banyak kali ya ayah-bunda. Karena kita sebagai orang tua memang adalah role model bagi ananda kita.Â
Menjadi tenang dan terhubung saat anak kita memiliki perasaan yang besar. Mendengarkan saat saudara mereka sedang luluh dan tetap tenang saat keadaan sulit dalam semua situasi yang ananda saksikan.Â
Akhirnya ketika anak kita telah menyaksikan ini berulang kali dan korteks prefrontal ananda berkembang sepenuhnya, ananda akan mulai meniru apa yang telah kita modelkan dari tahun ke tahun. Ini disebut pengaturan bersama, dan tidak ada yang dapat diajarkan secara eksplisit melalui buku, pelajaran, seperangkat kartu emosi, ceramah, atau hukuman.Â
Ayah-bunda tidak dapat membuat ananda tertib dan tenang tetapi ayah-bunda dapat menunjukkan kepada ananda berkali-kali seperti apa tampilan dan rasanya, dan pada akhirnya ananda mengerti.Â
Ini tentu saja adalah bagaimana banyak dari kita mempelajari tentang ke tidakteraturan dalam hal emosi dan etika. Ingatlah ayah bunda ketika ananda mengamuk dan marah: "Ini adalah manusia seutuhnya, yang saya cintai, yang sedang mengalami masa-masa sulit. Tugas saya adalah membantunya belajar bagaimana melepaskan emosinya dalam cara yang sehat".
Â
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H