Hai tanah kelahiranku,
Tepat hari ini aku bertolak ke Tanah Ratau. Kembali mengais rezeki, mengorek pundi-pundi. Baru semenit tiba di perantauan, batinku langsung dilalap rindu. Rasanya baru sejenak kita berjumpa. Tapi apa daya, waktu jua yang memisahkan kita.
Ya, rindu. Kata orang, rindu menandakan cinta. Kata mereka, rindu melambangkan renjana. Kalau kataku, rindu adalah pelebaya nyata dari Sang Pencipta bahwa suatu saat nanti kita akan kembali bersua.
Aku tak tahu sampai kapan waktuku, atau waktumu, masih tersisa. Yang pasti, selama hayat masih dikandung badan dan napas berembus kencang, rinduku tetap untukmu. Hanya untukmu, kampung halamanku.
Kepada tanah kelahiranku,
Aku bersyukur atas apa yang terjadi dalam sepuluh hari terakhir. Setelah tiga Lebaran gagal balik kanan, akhirnya tahun ini kita sanggup bersemuka. Bisa bercerita dan bercanda, kendati memang singkat terasa.
Di hadapan perajam rasa, sepuluh hari bukanlah waktu yang singkat. Tapi di mata pemendam rindu, sepuluh hari terasa cepat berlalu. Lebih cepat dari kilat cahaya. Lebih gesit dari putar dunia.
Memang seperti itulah rasanya merindu. Baru saja hati ini mencair, sekarang harus kembali membeku. Membeku memeram rindu. Membeku menahan tegur sapa bila tiba saat bagi kita untuk kembali berjumpa.
Baca juga: Kampung Halamanku Bernama Ibu
Untuk kampung halamanku,