“Taman Nasional Komodo telah menjadi tempat penelitian dan konservasi yang penting bagi keberlangsungan hidup satwa dan tumbuh-tumbuhan.”
Saya mengangguk, seraya merekam apa yang diutarakan Arifin. Petugas jagawarna itu berjalan cepat memunggungi kami. Dengan tongkat kayu di genggaman tangan, sesekali ia menyibak semak. Menyingkirkan dahan dan ranting yang menghalang.
Kedua bola matanya menoleh ke kanan dan kiri, lalu ke depan lagi. Mengawasi kondisi sekitar. Memastikan tiada seekor komodo pun yang terlewat dari tatapannya.
Bukan apa-apa. Komodo adalah hewan karnivora yang punya gigitan mematikan. Kita tidak boleh lengah, tidak boleh ceroboh. Untuk itulah Arifin ada. Menemani kami, para wisatawan yang ingin berfoto bersama komodo.
Arifin bercerita, sebenarnya komodo termasuk hewan penyendiri. Hanya berkumpul ketika musim kawin atau makan. Biawak raksasa berkaki empat itu juga pandai bersembunyi. Mampu menyelam sedalam 5 meter, dan jago memanjat pohon.
Apalagi sekarang sedang musim panas. Hewan berdarah dingin itu biasanya mencari tempat teduh. Bersembunyi dari terik matahari. Saat petang tiba, barulah mereka terbiasa keluar mencari mangsa.
Itulah alasan mengapa Sang Predator sulit ditemui. Sudah berjalan hampir satu jam, tidak satu ekor pun komodo yang terlihat.
Kendati terik menyengat, tiada sebulir pun keringat yang jatuh dari wajah Arifin. Sangat jelas terlihat ia terbiasa menyusuri jalan mendaki dan menurun di Pulau Komodo. Tak ingin kami terdiam, ia melanjutkan ceritanya.
“Taman Nasional Komodo resmi dibuka sejak 1980. Satu dari lima taman nasional pertama di Indonesia. Ada tiga pulau utama di sini, yaitu Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Padar.”