Rhoma menarik napas, lalu menghelanya kembali. Seakan-akan tengah menahan emosi.
“Yang tidak boleh dicampuradukkan itu adalah yang hak dan yang batil. Yang halal dan yang haram. Niat yang baik dengan niat yang tidak baik. Niat untuk membeli tanah buat pabrik, dengan niat membeli tanah untuk wakaf,” balas Rhoma.
Bustomi diam. Kehabisan kata-kata. Kalau sudah bawa-bawa syariat agama, apalah mau dikata?
Dalam benaknya, satu-satunya cara mencapai tujuan mendirikan pabrik adalah dengan menebar teror dan ancaman di tengah-tengah kepolosan warga. Kata Belanda, devide et impera.
“Kalau Bapak berbisnis di jalan Allah, masyarakat akan dengan sangat bersemangat, bekerja sama dengan Bapak untuk membangun desa ini. Bukankah sangat indah hal yang demikian ini, Pak?” tutup Rhoma.
Tak Lekang Ditelan Kala
Cuplikan cerita di atas diambil dari film religi klasik berjudul Nada dan Dakwah. Film itu bercerita tentang konflik tanah yang dirasakan oleh warga Desa Pandanwangi. Entah mengapa, bagi saya, film yang disutradarai oleh Chaerul Umum itu sangat membekas di batok kepala.
Mungkin karena film keluaran 1991 itu rutin diputar di layar kaca tiap kali Ramadan tiba. Ramadan era 1990-an, maksud saya. Menurut saya, film itu punya satu keunggulan yang tidak dimiliki oleh film-film religi kontemporer.
Keunggulan yang saya maksud adalah kesederhanaan alur cerita. Mudah dicerna oleh siapa saja. Tidak ada plot-twist berlebihan. Saat menonton, pemirsa bisa ke kamar kecil atau mengambil kudapan dengan tenang tanpa takut ketinggalan adegan krusial.
Ya, begitulah film-film jadul. Tokoh antagonis digambarkan secara gamblang sejak detik pertama. Kendati ujung-ujungnya melunak dan berakhir bahagia. Seperti karakter Bustomi yang diperankan oleh W.D. Mochtar.
Begitu pula dengan peran protagonis. Tokoh Rhoma yang dilakoni oleh Rhoma Irama digambarkan sempurna. Nyaris tanpa cela. Muda, tampan, berakhlak mulia, pandai agama, jago bergitar pula! Benar-benar tokoh idaman gadis desa pada zamannya.