“Justru sangat realistis, Pak, apabila Bapak dalam berbisnis, tetap pada jalur agama.”
Rhoma tetap tenang menyampaikan masukannya kepada Bustomi. Kendati lawan bicaranya berusia hampir dua kali lipat dari dirinya, jagoan gitar itu tidak sudi mengibarkan bendera putih. Nada bicaranya tenang seperti air, tetapi pesannya begitu tajam bak mata pisau.
Keteguhan Rhoma bukan tanpa alasan. Pesan yang ia utarakan kepada Bustomi sejatinya ialah curahan hati para warga Desa Pandanwangi yang tengah dag-dig-dug menanti kepastian. Banyak warga khawatir tanahnya bakal dicaplok dan dipatok oleh Sang Taipan. Kabarnya ingin disulap menjadi pabrik tapioka.
Pro-kontra di antara warga kontan mencuat. Ada yang setuju, tetapi tidak sedikit pula yang meragu. Yang setuju tergiur akan janji surga Sang Taipan. Katanya, warga yang setuju tanahnya dibeli akan dipekerjakan di pabrik begitu pembangunan usai.
Yang tidak setuju merasa janji Sang Taipan hanyalah isapan jempol belaka. Manis di depan, pahitnya belakangan. Bagaimana mungkin warga bisa bekerja di pabrik jika sehari-harinya terbiasa bercocok tanam? Tidak masuk akal!
Rasa irasional itulah yang membuat Rhoma rela jauh-jauh datang ke kota menempuh jalur negosiasi. Kata Rhoma, tidak apa-apa dibuat pabrik, asalkan hak kepemilikan tanah tetap berada di tangan warga. Dicatat sebagai saham, sehingga warga berhak memetik deviden tatkala pabrik milik Bustomi menuai profit.
Rhoma berpendapat, solusinya itu sangat sejalan dengan syariat agama. Bagi hasil saat untung, bagi rugi tatkala buntung. Rhoma juga meyakini, satu-satunya jalan menyudahi polemik yang kian memanas adalah dengan kembali ke jalan agama. Kembali ke jalur yang benar.
“Anda ini bagaimana? Business is business. Agama, ya, agama. Jangan dicampuradukkan!” sahut Bustomi.
Dari balik jas hitam dan kacamata lebarnya, Sang Taipan tidak mau mengalah begitu saja.
Bukan apa-apa. Rencana bisnis yang ia susun sudah final. Tidak ada satu pun yang berhak menceramahinya. Tiada seorang pun yang bisa mengubah pendiriannya. Apalagi kalau cuma pemuda kampung seperti Rhoma. Apa kata dunia?
Rhoma menarik napas, lalu menghelanya kembali. Seakan-akan tengah menahan emosi.
“Yang tidak boleh dicampuradukkan itu adalah yang hak dan yang batil. Yang halal dan yang haram. Niat yang baik dengan niat yang tidak baik. Niat untuk membeli tanah buat pabrik, dengan niat membeli tanah untuk wakaf,” balas Rhoma.
Bustomi diam. Kehabisan kata-kata. Kalau sudah bawa-bawa syariat agama, apalah mau dikata?
Dalam benaknya, satu-satunya cara mencapai tujuan mendirikan pabrik adalah dengan menebar teror dan ancaman di tengah-tengah kepolosan warga. Kata Belanda, devide et impera.
“Kalau Bapak berbisnis di jalan Allah, masyarakat akan dengan sangat bersemangat, bekerja sama dengan Bapak untuk membangun desa ini. Bukankah sangat indah hal yang demikian ini, Pak?” tutup Rhoma.
Tak Lekang Ditelan Kala
Cuplikan cerita di atas diambil dari film religi klasik berjudul Nada dan Dakwah. Film itu bercerita tentang konflik tanah yang dirasakan oleh warga Desa Pandanwangi. Entah mengapa, bagi saya, film yang disutradarai oleh Chaerul Umum itu sangat membekas di batok kepala.
Mungkin karena film keluaran 1991 itu rutin diputar di layar kaca tiap kali Ramadan tiba. Ramadan era 1990-an, maksud saya. Menurut saya, film itu punya satu keunggulan yang tidak dimiliki oleh film-film religi kontemporer.
Keunggulan yang saya maksud adalah kesederhanaan alur cerita. Mudah dicerna oleh siapa saja. Tidak ada plot-twist berlebihan. Saat menonton, pemirsa bisa ke kamar kecil atau mengambil kudapan dengan tenang tanpa takut ketinggalan adegan krusial.
Ya, begitulah film-film jadul. Tokoh antagonis digambarkan secara gamblang sejak detik pertama. Kendati ujung-ujungnya melunak dan berakhir bahagia. Seperti karakter Bustomi yang diperankan oleh W.D. Mochtar.
Begitu pula dengan peran protagonis. Tokoh Rhoma yang dilakoni oleh Rhoma Irama digambarkan sempurna. Nyaris tanpa cela. Muda, tampan, berakhlak mulia, pandai agama, jago bergitar pula! Benar-benar tokoh idaman gadis desa pada zamannya.
Seperti film-film jadul lainnya, adegan perkelahian atau bela diri menjadi bumbu cerita. Tidak ketinggalan, Toyota Land Cruiser FJ40 yang diidentikkan sebagai mobil penjahat muncul sebelum adegan bela diri. Membawa gerombolan pemuda pembuat onar yang pada akhirnya takluk di tangan Kesatria Bergitar.
Bagi saya pribadi, kesederhanaan alur cerita itu sungguh tiada duanya.
Hal itu pula yang menurut saya film religi jadul seakan tak habis ditelan zaman. Banyak film baru bermunculan, tetapi Nada dan Dakwah kekal dalam ingatan.
Terlebih film ini dibintangi sederet aktor dan aktis ternama pada zamannya. Mulai dari Deddy Mizwar, Ida Iasha, Fuad Alkhar, Nani Widjaja, Zainal Abidin, hingga “Dai Sejuta Umat” K.H. Zainuddin MZ.
Daya tarik Rhoma Irama memang tiada lawannya. Itulah alasan mengapa film ini cukup digemari oleh masyarakat Indonesia. Khususnya bagi penggemar garis keras Sang Raja Dangdut.
Di samping menjalani karier sebagai pentolan grup musik dangdut Soneta Band, Rhoma memang dikenal cukup eksis dan menjadi aktor langganan industri film nasional pada era 1970-an hingga 1990-an.
Kekuatan karakter itulah yang membuat Rhoma Irama selalu memerankan sosok pemuda yang sama dengan namanya. Seakan telah menjadi konsensus publik pada masanya, apa pun filmnya, jagoannya tetap Rhoma Irama.
Berbekal sederet bintang film nasional, Nada dan Dakwah berhasil menyabet Best Original Story dan Best Sound pada ajang penghargaan Festival Film Indonesia tahun 1992.
Tidak cukup sampai di situ, film yang ditulis oleh Asrul Sani itu juga masuk sebagai nominasi Best Film, Best Director, Best Actor, Best Supporting Actor, dan Best Original Score. Keren, kan?
Memetik Dua Pelajaran
Jika Anda sudi menonton kembali film yang kini berseliweran di laman YouTube, maka Anda akan memetik dua pelajaran penting dari Nada dan Dakwah.
Pertama, tetesan air lama-kelamaan akan menghancurkan kerasnya batu. Persis seperti Rhoma yang melawan kesemena-menaan Bustomi dengan cara yang elegan: dakwah bergitar.
Dalam hidup, pasti Anda akan menemui orang yang keras kepala bin alpha. Sudah dibilangin masih saja ngeyel, alias sulit diberi tahu. Meyakinkan orang seperti harus dengan cara yang lembut. Kata Ari Lasso, sentuhlah dia tepat di hatinya.
Kendati biasanya memakan waktu lama, cara seperti itu biasanya memiliki efek yang permanen. Sekali kena, luluh selamanya.
Kedua, kesabaran pasti berbuah hasil positif. Kesabaran K.H. Zainuddin MZ dalam mendakwahi warganya yang keras kepala adalah buktinya. Tiga-empat kali diceramahi, barulah warga menyadari niat busuk Bustomi.
Jika dipikir-pikir, apa yang kita cita-citakan pasti tidak akan terjadi dalam waktu semalam. Butuh konsistensi, butuh kesabaran. Pepatah mengatakan, orang sabar disayang Tuhan.
Lebih-lebih bulan Ramadan. Bulan Suci saat kita diminta Sang Pencipta untuk berlatih sabar lewat ibadah puasa. Pekan-pekan awal terasa sulit, lama-lama menjadi terbiasa. Lagi-lagi, kuncinya hanya sabar.
Jika dua pelajaran tadi dapat Anda praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, besar peluang hidup Anda lebih bahagia. Sebagaimana Nada dan Dakwah yang berakhir dengan senyuman Rhoma Irama.
Setuju? [Adhi]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H