Saya merasa beruntung terlahir sebagai seorang milenial. Tengah-tengah pula. Kebetulan pula, perasaan saya itu diperkuat dengan persepsi kebanyakan orang.
Kata orang-orang, sosok milenial tengah-tengah yang lahir pada rentang 1988 s.d. 1992 punya satu keunggulan spesifik. Keunggulan itu jarang atau bahkan tidak dimiliki generasi sebelum maupun sesudahnya.
Keunggulan yang disebut-sebut banyak orang itu tidak lain dan tidak bukan adalah gesit beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Jelas saja, generasi milenial seperti saya pernah merasakan serunya bermain tanpa sinyal pada era “kolonial”. Belum genap dewasa, kami pun masuk ke dalam barisan generasi awal-awal yang “terpaksa” menyesuaikan diri dengan lesatan era digital.
Kalau tidak percaya, saya beri dua amsal. Anak remaja zaman sekarang tidak akan pernah paham keseruan mendengarkan musik atau merekam suara lewat pita kaset. Generasi “zaman now” juga tidak akan mengira akses internet, pada zamannya, hanya bisa diperoleh lewat sambungan kabel telepon.
Benar, kan?
Alhasil, generasi milenial punya bentang spektrum wawasan yang terbilang luas. Nyambung, lebih tepatnya.
Saat generasi kolonial bercerita bagaimana sulitnya menjaga hubungan asmara lantaran hanya bermodal surat-menyurat, kami paham. Saat generasi alpha menyemburkan istilah kekinian macam bucin dan ghosting, kami pun mengerti.
Pengalaman merasakan hidup di dua era berbeda inilah yang membuat kami suka membanding-bandingkan. Lebih enak mana? Era minim distraksi tanpa gawai dan WA? Atau era serba-cepat lantaran teknlogi digital kian merajalela?
Semua bisa memilih yang mana saja. Itu hak setiap milenial yang kebetulan membaca artikel saya. Tidak ada jawaban absolut. Semuanya benar-benar bergantung pada pilihan subjektif Anda.
Tapi kalau Anda sudi atau berkenan mengajukan pertanyaan serupa kepada saya, maka saya punya jawabannya.
Saya lebih suka kala nirdistraksi. Era ketika ponsel belum merasuk ke dalam daftar kebutuhan primer. Zaman ketika belum ada satu pun orang yang gelisah, tiap lima menit mengecek notifikasi ponsel saat tatap muka lantaran khawatir ada pesan penting yang alpa terbaca.
Termasuk bulan Ramadan.
Dari kacamata saya, bulan Ramadan yang saya lalui saat masih ingusan dulu lebih seru dan menyenangkan ketimbang saat ini. Banyak momen yang tidak akan pernah bisa terulang kembali.
Jika boleh jujur, menurut pendapat saya, deretan momen itu bisa tercipta lantaran ponsel pintar atau gawai digital belum digenggam banyak orang. Penasaran?
Buku Ramadan
Generasi milenial pasti paham dengan apa yang disebut Buku Ramadan. Ya, buku catatan yang diberikan guru agama kepada siswa muslim saban bulan puasa. Isinya menggambarkan keaktifan siswa dalam mengikuti ibadah Ramadan.
Mulai dari puasa, salat tarawih, konten ceramah, zakat fitrah, hafalan Quran, hingga salat Idulfitri. Lengkap dengan kolom tanda tangan imam, pengajar, atau penceramah sebagai metode verifikasi kejujuran dan integritas siswa.
Boleh setuju atau tidak, bagi saya, buku ini secara tidak langsung berkontribusi tinggi pada motivasi siswa dalam melaksanakan ibadah Ramadan. Misalnya saja pada pemenuhan saf salat tarawih di masjid.
Bukan tanpa alasan saya menulis demikian. Pasalnya, kami merasa malu jikalau kolom tanda tangan banyak bolongnya. Dan, untuk memperoleh tanda tangan imam, kami harus menunggu hingga seluruh rangkaian salat tarawih tuntas ditunaikan.
Alasan itulah yang membuat kami setia berada di masjid selama salat tarawih berlangsung. Meskipun tidak jarang pula, di tengah-tengah salat, kami cabut bermain perang sarung di halaman masjid atau jajan bakso di seberang jalan.
Yang jelas, tiap Surat An-Nas dibaca tuntas dan doa berpuasa mulai dipanjatkan, kami langsung ngacir masuk ke dalam saf. Khawatir imam keburu pulang. Lagi-lagi demi segores tanda tangan.
Lalu, bagaimana nasib Buku Ramadan zaman sekarang?
Jujur saya tidak begitu tahu persis. Di desa-desa, bisa jadi masih ada. Di kota-kota, nasibnya berbeda. Keponakan saya yang tinggal di kota pernah bercerita, peran Buku Ramadan sudah digantikan dengan kewajiban melapor lewat grup WA.
Yang menjadi admin Grup WA itu adalah guru agamanya. Tiap hari guru agamanya mengabsen seluruh muridnya soal ibadah Ramadan apa saja yang sudah dijalankan. Termasuk salat tarawih.
Ah, lagi-lagi grup WA.
Keliling Kampung atau Kompleks
Saat kecil dulu, ini kegiatan favorit saya mengisi waktu luang saat bulan Ramadan. Yang saya senangi adalah interaksi tatap muka antara saya dan teman-teman sebaya. Dan, jalan-jalan keliling kampung atau kompleks menjadi rutinitas kami dulu.
Jalan-jalan keliling kampung atau kompleks perumahan yang saya maksud punya banyak jenis. Mulai dari menunggu waktu berbuka, bermain sepak bola jelang Magrib, jalan-jalan usai Subuh, hingga membangunkan orang sahur.
Tidak lupa, kami pasti membawa botol kosong, kotak kaleng biskuit, atau benda apa pun yang ditemukan sepanjang jalan, untuk kami sulap menjadi gendang. Supaya berisik. Lantaran kami anggap keren pada zamannya.
Tentu saja, ada orang-orang yang tidak peduli, ada pula tetangga yang tidak senang hati. Yang tidak senang hati biasanya meneriaki kami dari balik pagar rumahnya. Jika itu yang terjadi, kami buru-buru angkat kaki supaya omelan tetangga tidak sampai ke telinga orangtua.
Lantas, bagaimana dengan anak-anak zaman sekarang?
Lagi-lagi, di perdesaan, aktivitas jalan-jalan mungkin saja bisa kita temukan. Tapi kalau di perkotaan, rasanya para orangtua semakin tidak rela melepas anaknya bermain ke jalanan lantaran faktor keamanan.
Jika kita tanyakan ke anak-anak zaman sekarang, mereka akan setuju dengan keputusan orangtuanya. Faktanya, kata BPS, sepertiga populasi anak usia dini di Indonesia telah menggunakan ponsel. Hampir seperempat dari anak usia dini bahkan telah mengakses internet lewat ponselnya.
Artinya, kian kemari anak-anak akan mencari hiburan lewat gawainya. Itulah mengapa, gim daring tumbuh subur dewasa ini. Untung saja sedikit tertolong dengan tren lato-lato. Paling tidak kemampuan motorik anak bisa terasah lewat bermain lato-lato.
Ponsel Pintar atau Tidak?
Dua momen masa kecil saya di atas membuktikan argumentasi yang saya bangun dalam artikel ini. Sejak ponsel pintar merajalela, interaksi tatap muka jadi terasa minim. Komunikasi verbal secara langsung berganti dengan fitur obrolan lewat WA.
Itu yang menyebabkan momen-momen di atas semakin jarang kita rasakan selama bulan Ramadan. Momen seru yang hanya bisa dikenang.
Di satu sisi, komunikasi lewat ponsel pintar memang lebih efektif. Itu saya akui. Tapi di sisi lain, jika terlalu sering, notifikasi WA terasa mengganggu. Yang satu baru dibaca, eh, yang lain sudah meminta dibalas.
Miskomunikasi atau salah kaprah juga kerap terjadi. Lantaran lama membalas pesan, kita dianggap tidak cekatan atau minim perhatian. Padahal, bisa jadi kita sedang tidur pulas atau tengah beribadah atau melakukan hal yang lebih penting lainnya.
Situasi itu membawa kita pada pertanyaan pamungkas. Apakah era ponsel pintar menurunkan kualitas keseruan kita beraktivitas saat bulan Ramadan?
Lagi-lagi, jawabannya tidak ada yang absolut. Bisa, ya, bisa juga tidak. Subjektif saya mengatakan iya. Objektif saya mengatakan belum tentu.
Karena sekali lagi, milenial adalah generasi yang mudah beradaptasi dengan perkembangan zaman. Pengalaman tadi membawa kami tumbuh menjadi pribadi dewasa yang mengerti urgensi ponsel pintar, tetapi tidak mengerdilkan nilai-nilai kebaikan yang hanya muncul saat tatap muka.
Tapi kalau bisa berandai-andai, rasanya saya akan memilih kembali ke masa lalu. Ketika semua respons kita terhadap semua hal dilandasi dari apa yang kita lihat, rasakan, dan alami secara langsung. Bukan dari apa yang terpampang di balik layar.
Apalagi ini bulan Ramadan. Bulan yang katanya penuh ampunan. Pantaskah kita marah-marah kepada orang hanya gara-gara lama membalas pesan?
Kalau Anda bagaimana? Tulis di kolom komentar, ya! [Adhi]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H