Tapi kalau Anda sudi atau berkenan mengajukan pertanyaan serupa kepada saya, maka saya punya jawabannya.
Saya lebih suka kala nirdistraksi. Era ketika ponsel belum merasuk ke dalam daftar kebutuhan primer. Zaman ketika belum ada satu pun orang yang gelisah, tiap lima menit mengecek notifikasi ponsel saat tatap muka lantaran khawatir ada pesan penting yang alpa terbaca.
Termasuk bulan Ramadan.
Dari kacamata saya, bulan Ramadan yang saya lalui saat masih ingusan dulu lebih seru dan menyenangkan ketimbang saat ini. Banyak momen yang tidak akan pernah bisa terulang kembali.
Jika boleh jujur, menurut pendapat saya, deretan momen itu bisa tercipta lantaran ponsel pintar atau gawai digital belum digenggam banyak orang. Penasaran?
Buku Ramadan
Generasi milenial pasti paham dengan apa yang disebut Buku Ramadan. Ya, buku catatan yang diberikan guru agama kepada siswa muslim saban bulan puasa. Isinya menggambarkan keaktifan siswa dalam mengikuti ibadah Ramadan.
Mulai dari puasa, salat tarawih, konten ceramah, zakat fitrah, hafalan Quran, hingga salat Idulfitri. Lengkap dengan kolom tanda tangan imam, pengajar, atau penceramah sebagai metode verifikasi kejujuran dan integritas siswa.
Boleh setuju atau tidak, bagi saya, buku ini secara tidak langsung berkontribusi tinggi pada motivasi siswa dalam melaksanakan ibadah Ramadan. Misalnya saja pada pemenuhan saf salat tarawih di masjid.
Bukan tanpa alasan saya menulis demikian. Pasalnya, kami merasa malu jikalau kolom tanda tangan banyak bolongnya. Dan, untuk memperoleh tanda tangan imam, kami harus menunggu hingga seluruh rangkaian salat tarawih tuntas ditunaikan.