Tentu saja, ada orang-orang yang tidak peduli, ada pula tetangga yang tidak senang hati. Yang tidak senang hati biasanya meneriaki kami dari balik pagar rumahnya. Jika itu yang terjadi, kami buru-buru angkat kaki supaya omelan tetangga tidak sampai ke telinga orangtua.
Lantas, bagaimana dengan anak-anak zaman sekarang?
Lagi-lagi, di perdesaan, aktivitas jalan-jalan mungkin saja bisa kita temukan. Tapi kalau di perkotaan, rasanya para orangtua semakin tidak rela melepas anaknya bermain ke jalanan lantaran faktor keamanan.
Jika kita tanyakan ke anak-anak zaman sekarang, mereka akan setuju dengan keputusan orangtuanya. Faktanya, kata BPS, sepertiga populasi anak usia dini di Indonesia telah menggunakan ponsel. Hampir seperempat dari anak usia dini bahkan telah mengakses internet lewat ponselnya.
Artinya, kian kemari anak-anak akan mencari hiburan lewat gawainya. Itulah mengapa, gim daring tumbuh subur dewasa ini. Untung saja sedikit tertolong dengan tren lato-lato. Paling tidak kemampuan motorik anak bisa terasah lewat bermain lato-lato.
Ponsel Pintar atau Tidak?
Dua momen masa kecil saya di atas membuktikan argumentasi yang saya bangun dalam artikel ini. Sejak ponsel pintar merajalela, interaksi tatap muka jadi terasa minim. Komunikasi verbal secara langsung berganti dengan fitur obrolan lewat WA.
Itu yang menyebabkan momen-momen di atas semakin jarang kita rasakan selama bulan Ramadan. Momen seru yang hanya bisa dikenang.
Di satu sisi, komunikasi lewat ponsel pintar memang lebih efektif. Itu saya akui. Tapi di sisi lain, jika terlalu sering, notifikasi WA terasa mengganggu. Yang satu baru dibaca, eh, yang lain sudah meminta dibalas.