Berangkat dari persoalan di atas, skema kerja sama antarnegara ASEAN-5 akan bertumpu pada konektivitas pembayaran berbasis transaksi instan (fast payment). Penyelesaian transaksi akan mengandalkan mata uang lokal tanpa dollar AS sebagai patokan (local currency settlement). Skema itu akan menurunkan biaya transfer dana secara signifikan.
Sebagai gambaran, kerja sama pembayaran bilateral antara Thailand (PromtPay) dan Singapura (PayNow) mampu menurunkan biaya transfer di antara kedua negara, dari semula 300 hingga 1.500 baht, menjadi hanya 150 baht. Waktu kirim pun jadi lebih cepat. Dari semula satu hingga dua hari, menjadi hanya dalam hitungan menit.
Hal serupa bisa kita rasakan ketika BI merilis sistem pembayaran cepat bernama BI-FAST sejak Desember 2021, yang mereduksi biaya transfer antarbank, dari Rp6.500 menjadi Rp2.500 per transaksi.
Selain murah, BI-FAST juga mengakomodasi pembayaran ritel hingga Rp250 juta per transaksi setiap saat, dan seketika. Hingga kini, BI-FAST mewakili 82 persen pangsa sistem pembayaran ritel di Indonesia.
Pembayaran berbasis kode cepat (QR Code) juga tidak luput dari agenda perluasan traktat multilateral di kawasan Asia Tenggara itu. Ke depan, turis asing yang berbelanja di Indonesia cukup membayar pakai QR Code tanpa harus membawa dan menukar uang tunai, begitu pun sebaliknya. Lebih cepat, mudah, murah, aman, dan andal.
Kerja sama yang dilakukan negara ASEAN-5 itu seakan menjadi antitesis dengan apa yang terjadi belakangan ini. Ketika Uni Eropa membangun tembok transaksi lintas negara dengan mencabut tujuh bank asal Rusia dari kepesertaan SWIFT, Indonesia justru berhasil membangun jembatan untuk menyatukan pembayaran di kawasan Asia Tenggara.
Sinergi adalah kunci
Siapa pun yang belajar teori ekonomi pasti paham bahwa dimensi kolaborasi sangat esensial bagi pertumbuhan ekonomi. Adam Smith dalam The Wealth of Nations memilih perdagangan bebas antarnegara sebagai solusi atas tingginya harga beli konsumen apabila terjadi praktik pembatasan perdagangan atau monopoli pasar.
Perdagangan bebas, atau kini dikenal sebagai globalisasi, yang digarisbawahi pencetus teori ekonomi klasik itu tentu saja urung terjadi tanpa sinergi antarnegara. Dalam lintasan sejarah, konsepsi itu semakin terbukti ketika perang dunia dengan semangat deglobalisasinya membawa ekonomi global jatuh ke jurang resesi.
Usai perang dunia kedua, semangat kolaborasi mencuat kembali dengan dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1945 untuk menjaga perdamaian dunia dan mencegah terjadinya perang di masa depan.
Setelahnya, praktik-praktik deglobalisasi dalam bentuk Perang Dingin AS-Uni Soviet 1985-1991, Perang Dagang AS-China 2018-2021, hingga terkini perang Rusia-Ukraina; kembali menahan bahkan membawa ekonomi global ke tepi jurang resesi.