Mohon tunggu...
Adhi Nugroho
Adhi Nugroho Mohon Tunggu... Penulis - Blogger | Author | Analyst

Kuli otak yang bertekad jadi penulis dan pengusaha | IG : @nodi_harahap | Twitter : @nodiharahap http://www.nodiharahap.com/

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pesan Sinergi dari Presidensi G20

30 Juli 2022   20:18 Diperbarui: 30 Juli 2022   20:19 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) di Nusa Dua, Bali (16/7/2022). | Foto: ANTARA/Nyoman Budiana

Sejarah baru terukir dari pertemuan ketiga Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) pada rangkaian Presidensi G20 Indonesia 2022. Di tengah tensi geopolitik yang kian memanas, Indonesia berhasil memberi teladan kepada dunia bahwa sinergi, lagi-lagi, menjadi kunci pemulihan ekonomi.

Di antara sekian banyak agenda yang disepakati forum kerja sama multilateral yang merepresentasikan 80 persen ekonomi dunia dari jalur keuangan itu di Bali pada pertengahan Juli lalu, ada dua hal yang paling menarik perhatian.

Pertama, pembentukan Dana Perantara Keuangan atau Financial Intermediary Fund (FIF). Tujuan pembentukan FIF ialah memberi kepastian pembiayaan untuk pencegahan, kesiapan, dan penanggulangan terhadap pandemi di masa depan. Sekaligus melanjutkan rekomendasi Bank Dunia yang termuat dalam dokumen perencanaannya (white paper) pada Mei 2022 lalu.

Pembentukan FIF ibarat angin segar bagi kelompok negara berpenghasilan rendah dan menengah. Ketika pandemi Covid-19 terjadi, kelompok negara ini relatif tidak punya sumber daya dan kemampuan finansial yang memadai untuk meneliti, menciptakan, bahkan membeli vaksin.

Kita tentu masih ingat dengan pernyataan miris Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Januari 2021 saat vaksin baru mulai diproduksi masal. Lebih dari 39 juta dosis vaksin telah disuntikkan kepada penduduk di 49 negara berpenghasilan tinggi. Sementara hanya 25 dosis saja yang diinjeksikan kepada penduduk di satu negara berpenghasilan sangat rendah.

Satu setengah tahun setelah pernyataan WHO tersebut, distribusi vaksin dunia tidak kunjung merata. Per 30 Juli 2022, data Bloomberg memang menyebut lebih dari 12,3 miliar dosis vaksin telah diberikan kepada 184 negara. Jika dirata-rata, rasionya mencapai 157 dosis per 100 penduduk dunia. Namun, akselerasinya masih timpang.

Laju vaksinasi di negara maju faktanya sepuluh kali lebih cepat daripada negara miskin. Tatkala negara maju seperti Kuba mencatat rasio vaksinasi sebesar 345 dosis per 100 penduduk, negara-negara miskin seperti Yaman, Haiti, Republik Demokrat Kongo, Kamerun, dan Papua Nugini hanya mencatat tiga hingga tujuh dosis per 100 penduduk. Jauh di bawah rata-rata dunia.

Menkeu Sri Mulyani saat konferensi pers hasil FMCBG G20 di Nusa Dua, Bali (16/7/2022). | Foto: YouTube Bank Indonesia
Menkeu Sri Mulyani saat konferensi pers hasil FMCBG G20 di Nusa Dua, Bali (16/7/2022). | Foto: YouTube Bank Indonesia

Berangkat dari ketimpangan tadi, FIF diposisikan sebagai wadah intermediasi dana di bawah pengelolaan Bank Dunia. Supaya negara berpenghasilan rendah-menengah punya daya dukung finansial untuk membeli vaksin. Sementara negara maju punya tanggung jawab sosial untuk menyediakan akses vaksin yang lebih murah dan merata.

FIF direncanakan akan dibentuk pada September mendatang, dengan komitmen dana awal sebesar 1,28 miliar dollar AS. Sebelum didirikan, masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Di antaranya ialah tata kelola kebijakan pembiayaan dan pendanaan. Sehingga pendirian FIF nantinya benar-benar menjadi solusi atas upaya penanganan pandemi dari sisi pembiayaan.

Pembayaran lintas negara

Kedua, pembayaran lintas negara (cross-border payment) di kawasan Asia Tenggara. Bank Indonesia (BI) bersama bank sentral Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand tengah menjajaki kerja sama pengembangan pembayaran lintas negara. Kerja sama multilateral itu bertujuan mengatasi empat isu utama transaksi lintas negara: berbiaya tinggi, cenderung lambat, akses terbatas, dan kurang transparan.

Sebagai contoh, mari kita uraikan dua tantangan pembayaran lintas negara yang paling dominan: biaya dan kecepatan. Dari sisi biaya, selama ini transaksi lintas negara memang dikenal tidak murah.

Laporan Bank Dunia bertajuk Remittance Prices Worldwide edisi Maret 2022 menyebut, rata-rata biaya transfer dana lintas negara sebesar 200 dollar AS adalah 6,09 persen. Jumlah itu masih di atas target G20 sebesar 5 persen maupun Cita-cita Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 2030 sebesar 3 persen.

Tingginya biaya kirim dana itu dipengaruhi tiga faktor: biaya transfer, selisih kurs—yang umumnya berpatokan pada dollar AS, dan biaya tambahan atas selisih kurs.

Padahal, studi Ahmed dkk. (2020) membuktikan penurunan 1 persen atas biaya transfer dana dapat meningkatkan volume transaksi hingga 1,6 persen. Pendek kata, turunnya biaya transfer dana akan mempercepat roda ekonomi berputar dan meningkatkan inklusi keuangan.

Persoalan selanjutnya terletak pada kecepatan. Harus diakui, proses perpindahan dana dari satu negara ke negara lain memerlukan waktu yang tidak singkat.

Sebagai contoh, transfer rekening antarbank lewat SWIFT (Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication) butuh satu hingga lima hari kerja sebelum dana sampai di negara tujuan. Padahal, lebih dari separuh pembayaran lintas negara di dunia ditransaksikan lewat jaringan milik organisasi yang berkantor pusat di Belgia itu.

Opsi lain hampir serupa. Western Union, penyelenggara transfer dana dan remitansi yang punya jaringan di lebih dari 200 negara, rata-rata butuh waktu satu hingga tiga hari untuk transfer dana ke luar negeri.

Selain perbedaan zona waktu, durasi transfer dana juga amat dipengaruhi korespondensi antarbank. Jika bank pengirim dana tidak punya koneksi langsung ke bank penerima dana, maka dibutuhkan peranan bank perantara untuk mengisi celah itu. Proses inilah yang kerap menyita waktu.

Kesepakatan kerja sama pembayaran lintas negara antara Gubernur Bank Sentral di negara ASEAN-5 (14/7/2022). | Foto: Bank Indonesia
Kesepakatan kerja sama pembayaran lintas negara antara Gubernur Bank Sentral di negara ASEAN-5 (14/7/2022). | Foto: Bank Indonesia

Berangkat dari persoalan di atas, skema kerja sama antarnegara ASEAN-5 akan bertumpu pada konektivitas pembayaran berbasis transaksi instan (fast payment). Penyelesaian transaksi akan mengandalkan mata uang lokal tanpa dollar AS sebagai patokan (local currency settlement). Skema itu akan menurunkan biaya transfer dana secara signifikan.

Sebagai gambaran, kerja sama pembayaran bilateral antara Thailand (PromtPay) dan Singapura (PayNow) mampu menurunkan biaya transfer di antara kedua negara, dari semula 300 hingga 1.500 baht, menjadi hanya 150 baht. Waktu kirim pun jadi lebih cepat. Dari semula satu hingga dua hari, menjadi hanya dalam hitungan menit.

Hal serupa bisa kita rasakan ketika BI merilis sistem pembayaran cepat bernama BI-FAST sejak Desember 2021, yang mereduksi biaya transfer antarbank, dari Rp6.500 menjadi Rp2.500 per transaksi.

Selain murah, BI-FAST juga mengakomodasi pembayaran ritel hingga Rp250 juta per transaksi setiap saat, dan seketika. Hingga kini, BI-FAST mewakili 82 persen pangsa sistem pembayaran ritel di Indonesia.

Pembayaran berbasis kode cepat (QR Code) juga tidak luput dari agenda perluasan traktat multilateral di kawasan Asia Tenggara itu. Ke depan, turis asing yang berbelanja di Indonesia cukup membayar pakai QR Code tanpa harus membawa dan menukar uang tunai, begitu pun sebaliknya. Lebih cepat, mudah, murah, aman, dan andal.

Kerja sama yang dilakukan negara ASEAN-5 itu seakan menjadi antitesis dengan apa yang terjadi belakangan ini. Ketika Uni Eropa membangun tembok transaksi lintas negara dengan mencabut tujuh bank asal Rusia dari kepesertaan SWIFT, Indonesia justru berhasil membangun jembatan untuk menyatukan pembayaran di kawasan Asia Tenggara.

Sinergi adalah kunci

Siapa pun yang belajar teori ekonomi pasti paham bahwa dimensi kolaborasi sangat esensial bagi pertumbuhan ekonomi. Adam Smith dalam The Wealth of Nations memilih perdagangan bebas antarnegara sebagai solusi atas tingginya harga beli konsumen apabila terjadi praktik pembatasan perdagangan atau monopoli pasar.

Perdagangan bebas, atau kini dikenal sebagai globalisasi, yang digarisbawahi pencetus teori ekonomi klasik itu tentu saja urung terjadi tanpa sinergi antarnegara. Dalam lintasan sejarah, konsepsi itu semakin terbukti ketika perang dunia dengan semangat deglobalisasinya membawa ekonomi global jatuh ke jurang resesi.

Usai perang dunia kedua, semangat kolaborasi mencuat kembali dengan dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1945 untuk menjaga perdamaian dunia dan mencegah terjadinya perang di masa depan.

Setelahnya, praktik-praktik deglobalisasi dalam bentuk Perang Dingin AS-Uni Soviet 1985-1991, Perang Dagang AS-China 2018-2021, hingga terkini perang Rusia-Ukraina; kembali menahan bahkan membawa ekonomi global ke tepi jurang resesi.

Tak ayal, tugas berat ada di pundak Indonesia selaku pemegang tampuk keketuaan G20 2022. Di tengah timbulnya harapan baru dari pandemi yang semakin terkendali, dunia kembali dihadapkan pada risiko anyar berwujud stagflasi, imbas dari disrupsi rantai pasok global karena perang berkepanjangan di Ukraina.

Forum G20 sendiri, yang awalnya lahir untuk merespons krisis keuangan global 2008-2009, juga dibentuk dengan semangat kolaborasi. Maka, apa yang dilakukan Indonesia dengan berupaya mengejawantahkan semangat sinergi-kolaborasi dan semboyan “Recover Together, Recover Stronger”, sudah tepat.

Sebab di dunia yang semakin terkoneksi seperti saat ini, tiada satu pun negara yang sanggup mengatasi permasalahan ekonomi seorang diri. Pesan itulah yang ingin ditunjukkan Indonesia untuk kebaikan dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun