Penasaran akan bagaimana Buqulib, saya pun mencoba aplikasi ini pada 29 Agustus 2016. Saya ingin tahu bagaimana perbandingan buqulib dengan ijakarta. Saat itulah saya merasa ada beberapa perbedaan.
Jika untuk masuk ke iJakarta bisa melalui facebook atau akun e-mail, buqulib hanya bisa diakses lewat e-mail. Fitur yang tersedia pun terbatas. Buqulib tidak menyediakan fasilitas donasi buku dan tidak seperti ijakarta yang juga merupakan kombinasi dengan media sosial. Dengan begitu, buqulib murni hanya sebatas tempat minjam atau menyewa buku, tidak ada interaksi antar pengguna buqulib di dalamnya.
Perbedaan lainnya adalah buqulib merupakan perpustakaan digital berbayar dengan sistem bayar menggunakan token. 1 token bernilai Rp 3.000. Token ini bisa dibeli di alfamart atau dipotong dari pulsa. Untuk peminjaman satu buku akan bervariasi. Bisa satu atau lebih dari satu token, tergantung buku yang hendak kita pinjam dengan waktu peminjaman hanya berkisar 7 hari. Namun untuk kamu yang baru saja registrasi tidak usah khawatir. 2 buah token akan langsung tersedia di akun kamu. Sebagai langkah awal, setidaknya kamu bisa meminjam 1 hingga dua buku. Promosi yang baik. Sama seperti ijakarta, setiap buku yang kita pinjam akan masuk ke fitur rak buku.
Sebuah Tantangan
Masih ingat soal hasil survey di atas?
Hasil survey terhadap 70 orang Jakarta secara acak di atas mungkin belum bisa mewakili keseluruhan warga Jakarta yang berjumlah 10 juta lebih, namun setidaknya dapat diambil kesimpulan. Di balik tahu atau tidak tahu warga tentang iJakarta, pernah atau belum pernah meminjam buku di iJakarta terdapat suatu prestasi namun juga PR besar untuk iJakarta dalam berkarya ke depannya.
Tak jauh berbeda dengan Irfan, Dian Maria Ulfa, dosen jurusan farmasi UI ini juga pernah meminjam buku di iJakarta. Bahkan anaknya, Syafiq yang masih duduk di kelas 2 SD juga suka meminjam buku di ijakarta. Namun sayang, Dian mengeluhkan beberapa kekurangan di ijakarta. Seperti yang ditanyakan oleh Linda Erlina, kawan baik saya kepadanya melalui whatssapp, Dian menuturkan bahwa iJakarta memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. “Kekurangannya bukunya ya belum terlalu banyak. Kadang suka antre pinjamnya kalau bukunya bagus. Kelebihannya, kita enggak perlu ke perpustakaan (konvensional) untuk minjam buku. Ada sosial media gitu jadi kita bisa lihat pinjaman orang-orang.” Tuturnya di whatssap.
Apa yang dialami oleh Irfan, Phasa, Tyas, Fauzier dan Dian merupakan suatu gambaran tentang bagaimana masyarakat menilai iJakarta. Terlepas dari berapa banyak orang yang telah tahu iJakarta dan berapa banyak yang telah menggunakannya, iJakarta merupakan suatu kebanggan bagi warga Jakarta. Tidak semua kota di Indonesia memiliki perpustakaan digital sendiri. Namun di sisi lain, berkaca dari berbagai keluhan yang disampaikan juga merupakan tantangan besar. Harapannya, iJakarta terus memperbaiki diri menjadi perpustakaan digital yang lebih baik dan makin dicintai warganya.*