Matahari tepat di atas kepala. Membakar keringat para Petani yang bekerja. Tapi semangat masih tetap menyala. Tak redup.
Mereka membentuk kelompok-kelompok kecil dalam mengumpulkan batang-batang padi yang selesai disabit. Kelompok yang lain tinggal men-dros (memisahkan padi dari batangnya menggunakan mesin) atau bahasa lokalnya "ba dros".
Sementara kelompok saya dan ayah saya menunggu giliran untuk mendros padi kami yang sudah selesai disabit. Yah, Mesin pemisah padi dari batangnya hanya satu.Â
Sambil menunggu giliran, saya duduk di atas tumpukan batang-batang padi yang sudah terpisah dari padinya dan menyeruput kopi sembari mengamati para Petani yang bekerja dengan giat dan kompak di bawa matahariÂ
Mereka bekerja dengan tugas masing-masing. Ada yang bertugas mengambil batang-batang padi dari tumpukan untuk diberikan pada yang bertugas memasukan batang-batang padi pada mulut mesin dros, di bawahnya, tepat pada bagian mesin dros mengeluarkan padi yang sudah terpisah dari batangnya, ada yang bertugas mengumpulkan padi untuk diisi dalam karung, dan....coba lihat yang satu ini....ia hanya bertugas memegang mulut karung--- itu satu-satunya pekerjaan reme temek di bawa kolong langit ini.Â
Tapi diantara mereka tidak ada yang saling cemburu dengan tugas masing-masing. Semua bekerja seirama seakan menyatu dengan mesin dros dan tampak ceriah. Terkadang saling melempar canda. Bekerja dengan senang hati.
Ini mirip dengan apa yang dikehendaki Karl Marx. Bekerja dengan bebas dan atas dasar otonom diri sendiri tanpa harus tunduk dan patuh pada heteronomi (istilah yang ia pinjam dari Hegel). Kiranya itu hasil pengamatan ngangur saya sejak tadi.
Ups, sorry myfre. Saya hampir melebar dari konteks. Apaguna juga membicarakan si jenggot lebat tua itu di tengah para petani yang hanya paham dengan sistem bercocok tanam dengan baik tapi hubungan dengan alamnya tetap terawat ketimbang masyarakat urban perkotaan yang egois dan berjarak dengan alam?
So, back to laptop....
Baik, giliran kelompok saya dan ayah sedikit lagi tibah. Setiap orang dalam kelompok saya sudah tahu tugas mereka masing-masing. Ayah bertugas memasukan batang-batang padi kedalam mulut mesin dros. Sisahnya, sudah diambil yang lain. Saya hanya mendapat tugas memegang mulut karung padi. Pekerjaan paling remeh temek di kolong langit.Â
"Kamu pegang mulut karung padi itu saja, itu cocok buat kamu yang hanya tahu pegang pulpen dan buku" kata seorang tua yang mulai sepuh yang sekelompok dengan saya. Doh, pandangan skali, saya membatin.
"itu terlalu mudah bagi seorang mahasiswa, amat keterlaluan kalau tidak bisa" sambung seorang yang sedikit lebih mudah dari ayah saya. Yang satu ini ucapannya jauh dari kata realistis, pada satu sisi dirinya menunjukan realitas yang sebenarnya.Â
Realistis bahwa, di kampung saya, yang segolongannya membayangkan kalau sahnya semua mahasiswa itu maha tahu, sehingga kalau ada mahasiswa yang melakukan kesalahan atau kecerobohan, mereka akan berkata dengan sinis "ah, mahasiswa kok mirip anak SD saja". Dan kata-kata itu akan berlaku pada setiap aspek kehidupan tanpa melihat apa background pendidikan kita.
Semisal, saya dalam tugas yang diberikan (memegang mulut karung padi) membuat kesalahan atau terlepas mulut karung saat memasukan padi kedalam karung, saat itu juga yang saya akan terima kata-kata sinis seperti di atas.Â
Pada posisi itu, tindakan yang bijak adalah diam saja dan membatin "apa pula hubungannya kulia dan kesalahan melepaskan mulut karung saat padi dimasukan?". Sebagaimana sebuah pepatah "meninggalkan pertanyaan tolol adalah jawaban".
Narasi Kolonial yang Tetap Saja Terawat
Saya tetap saja diam. Tetap pada posisi semula.Tetap asik mengamati para petani yang bekerja dengan giat dan kompak sambil menyeruput kopi di atas tumpukan batang-batang padi.Â
"Ini tidak akan lama, paling 2 jam kita sudah selesai. Tapi tetap melelahkan. Namanya juga kerja. Bahkan makan saja pasti buat rahang lelah. Tapi sangat keterlaluan kalau menganggap makan sebagai pekerjaan" Kata seorang tua yang mulai sepuh tadi sambil terkekeh dengan ucapannya sendiri.
"Makanya sekolah kamu jangan sampai kandas ditengah jalan. Biar tidak seperti kami-kami ini yang hanya bergantung pada alam. Orang sekolah itu nanti hidupnya tenar, masa tuanya enak, dan terpandang" sambungnya.
Saya tetap konsisten dengan sikap semula. Tetap saja diam, dan menjadi pendengar yang baik sambil menggerakkan kepala saya turun naik sebagai simbol dalam merespon interaksi yang berjalan sambil membatin "duh, ternyata narasi kolonial akhir abad 19 akan pendidikan yang menjanjikan sangat mengakar kuat dan subur di benak masyarakat kita".
Bahwa, kebanyakan dari orang tua kita, menyekolahkan kita atas dasar dorongan itu: biar punya pekerjaan yang layak, terpandang, naik status sosialnya, menjadi seorang priyayi, dan segala macam tetek bengek duniawi. Walhasil, pendidikan malah hanya menciptakan generasi yang bermental buruh dan parahnya lagi, pendidikan bisa saja mengeksploitasi manusia yang lain.
Dan itu persis dengan apa yang mbak Pram ucapkan dengan sangat frontal:
"Jangan tuan percaya pada pendidikan sekolah, seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip, apalagi kalau guru itu sama banditnya pula pada dasarnya."
Tapi, kenapa itu tetap saja terawat dan subur? Tidak mudah untuk menjawab itu. Akan ada beberapa generasi yang harus dibentuk untuk menghapuskan Narasi kolonial 300 tahun silam dan menguburnya dalam-dalam.
Dalam hal ini, saya akan lebih condong pada salah satu tokoh sosiolog Peter L. Berger (1967) yang berujar, bahwa manusia adalah produk dari ciptaannya sendiri.Â
Maksudnya apa? Begini cara sederhana memahaminya. Meskipun ini agak mirip dengan konsepsinya Marx tentang manusia, tapi saya tidak ingin membahasnya disini.Â
Bagi Berger, manusia adalah bentukan dari masyarakat yang di mana ia menjalankan aktivitas sosialnya sehari-hari. Sedangkan masyarakat adalah hasil ciptaan manusia itu sendiri. Dengan kata lain, manusia adalah hasil produksi dari ciptaannya sendiri.
Jadi, narasi kolonial 300 tahun silam yang terawat dan subur itu bukanlah rentetan peristiwa yang kebetulan. Ia adalah bentukan umat manusia di mana satu generasi berdiri di atas pundak generasi yang satunya, yang kemudian oleh Habermas menyebutnya dengan istilah "kegiatan transendental".
Tapi, apakah itu menjawab pertanyaan? Saya tidak yakin.Â
Sekiranya, sebagai mahasiswa semester banyak yang dibuat menganggur oleh coronavirus, untuk sekarang itu yang dapat saya lakukan. Mengamati dan memberikan tanggapan semaunya.Â
Anda kurang puas? Maaf, saya bukan pemuas.Wahahaha
#stayethome
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H