Mohon tunggu...
Panji Saputra
Panji Saputra Mohon Tunggu... Freelancer - Makelar Kopi

Sunyi bukan berarti mati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Narasi Kolonial Tetap Saja Terawat

10 April 2020   23:50 Diperbarui: 10 April 2020   23:45 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Bukan ladang kami

"Kamu pegang mulut karung padi itu saja, itu cocok buat kamu yang hanya tahu pegang pulpen dan buku" kata seorang tua yang mulai sepuh yang sekelompok dengan saya. Doh, pandangan skali, saya membatin.

"itu terlalu mudah bagi seorang mahasiswa, amat keterlaluan kalau tidak bisa" sambung seorang yang sedikit lebih mudah dari ayah saya. Yang satu ini ucapannya jauh dari kata realistis, pada satu sisi dirinya menunjukan realitas yang sebenarnya. 

Realistis bahwa, di kampung saya, yang segolongannya membayangkan kalau sahnya semua mahasiswa itu maha tahu, sehingga kalau ada mahasiswa yang melakukan kesalahan atau kecerobohan, mereka akan berkata dengan sinis "ah, mahasiswa kok mirip anak SD saja". Dan kata-kata itu akan berlaku pada setiap aspek kehidupan tanpa melihat apa background pendidikan kita.

Semisal, saya dalam tugas yang diberikan (memegang mulut karung padi) membuat kesalahan atau terlepas mulut karung saat memasukan padi kedalam karung, saat itu juga yang saya akan terima kata-kata sinis seperti di atas. 

Pada posisi itu, tindakan yang bijak adalah diam saja dan membatin "apa pula hubungannya kulia dan kesalahan melepaskan mulut karung saat padi dimasukan?". Sebagaimana sebuah pepatah "meninggalkan pertanyaan tolol adalah jawaban".

Narasi Kolonial yang Tetap Saja Terawat

Saya tetap saja diam. Tetap pada posisi semula.Tetap asik mengamati para petani yang bekerja dengan giat dan kompak sambil menyeruput kopi di atas tumpukan batang-batang padi. 

"Ini tidak akan lama, paling 2 jam kita sudah selesai. Tapi tetap melelahkan. Namanya juga kerja. Bahkan makan saja pasti buat rahang lelah. Tapi sangat keterlaluan kalau menganggap makan sebagai pekerjaan" Kata seorang tua yang mulai sepuh tadi sambil terkekeh dengan ucapannya sendiri.

"Makanya sekolah kamu jangan sampai kandas ditengah jalan. Biar tidak seperti kami-kami ini yang hanya bergantung pada alam. Orang sekolah itu nanti hidupnya tenar, masa tuanya enak, dan terpandang" sambungnya.

Saya tetap konsisten dengan sikap semula. Tetap saja diam, dan menjadi pendengar yang baik sambil menggerakkan kepala saya turun naik sebagai simbol dalam merespon interaksi yang berjalan sambil membatin "duh, ternyata narasi kolonial akhir abad 19 akan pendidikan yang menjanjikan sangat mengakar kuat dan subur di benak masyarakat kita".

Bahwa, kebanyakan dari orang tua kita, menyekolahkan kita atas dasar dorongan itu: biar punya pekerjaan yang layak, terpandang, naik status sosialnya, menjadi seorang priyayi, dan segala macam tetek bengek duniawi. Walhasil, pendidikan malah hanya menciptakan generasi yang bermental buruh dan parahnya lagi, pendidikan bisa saja mengeksploitasi manusia yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun