Mohon tunggu...
Nizwar Syafaat
Nizwar Syafaat Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Optimisme Menteri Keuangan dan Pikiran Sempit Para Pakar

8 Mei 2018   11:00 Diperbarui: 8 Mei 2018   11:28 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Selama tiga tahun pemerintahan Jokowi, nilai indek gini mengalami penurunan tapi tidak signikan dari 0.408 menjadi 0.393.  Data lain menunjukkan bahwa selama periode yang sama telah terjai peningkatan kekayaan secara signifikan  40 orang terkaya di Indonesia meningkat dari Rp 1.127 trilliun (US$ 86.760) menjadi Rp 1.616 trilliun (US$ 119.720) atau meningkat Rp 163 Trilliun per tahun.  

Berdasarkan dua fakta tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebijakan ekonomi selama tiga tahun pemerintahan Jokowi menghasilkan ketimpangan yang stagnan.  PDB Indonesia tahun 2016 sebesar Rp12.406,8 trilliun dengan rata-rata sebesar Rp 47.96 juta perkapita per tahun jauh di atas garis kemiskinan sebesar Rp 4.6 juta (BPS, 2017).  

Kalau kita mau jujur dengan total pendapatan nasional yang demikian besar, seharusnya tidak ada masyarakat miskin lagi di Indonesia. Tetapi mengapa dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 47.96 per kapita per tahun masih ada penduduk miskin sebanyak 26.58 juta orang? Itu terjadi karena ada lapisan masyarakat kelas atas memperoleh kue pendapatan nasional terlalu besar, sedangkan masyarakat bawah mendapatkan kue pendapatan nasional sangat sangat kecil.  

Ketimpangan ekonomi tersebut yang menyebabkan rakyat miskin.  Dan untuk mengentaskan rakyat miskin hanya bisa melalui pengurangan ketimpangan ekonomi dengan berbagai kebijakan ekonomi, bukan dengan bantuan sosial yang mencapai ratusan trilliun. Apa ini bukan fakta untuk mengkonfirmasi bahwa kebijakan pengentasan kemiskinan tidak sesuai dengan kondisi kemiskinan yang ada?

Kebijakan industrialisasi dengan re-alokasi industri dari negara maju dengan orientasi ekspor ternyata belum juga mampu untuk mengatasi defisit transaksi berjalan.  Transaksi berjalan meningkat dari minus US$4,60 billion pada triwulan IV-2017 menjadi  minus US$ 5.70 billion pada triwulan I-2018.  Pemerintahan Soeharto telah menerapkan kebijakan tersebut sejak tahun 1980-an juga belum mampu mengatasi masalah defisit transaksi berjalan.  

Penyebabnya karena terlalu besar bagian nilai tambah yang diperoleh modal dan teknologi yang menjadi bagian pemilik atau pengusaha industri yang kembali ke negaranya sebagai capital outflow.  Pemerintahan saat menggantungkan aliran investasi dan pendapatan devisa kepada industrialisasi yang berbasis modal dan teknologi canggih yang memperoleh bagian terbesar dari nilai tambah yang diciptakan.  Kita hanya mendapat bagian bagian nilai tambah tenaga kerja dan komponen lokal yang nilainya kecil juga pajak.  Dengan demikian industrialisasi tersebut tidak memberikan manfaat besar kepada Indonesia. 

Apalagi dibanding dengan industrialisasi dari Cina.  Ini memang industri Cina hanya pindah lokasi ke Indonesia.  Ini jauh lebih tidak menguntungkan Indonesia.  Kita hanya memperoleh pajak.  Mereka mempekerjakan tenaga kerja mereka sendiri, dan membentuk lokasi enclave di Indonesia semacam desa industri Cina.  Mungkin ini ke depan yang perlu diwaspadai oleh kita.  Apa ini perlu kita biarkan? 

Data BPS menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi antara Jawa vs luar Jawa justu makin timpang era Jokowi dan kondisinya lebih buruk dibanding tahun 2007.  Kontribusi Jawa terhadap PDB nasional oleh SBY mampu diturunkan dari 58.20% pada tahun 2007 menjadi 57.99 pada tahun 2013. Justru pada tahun 2017 naik lagi menjadi 58.49%.  Pada triwulan I-2018 naik lagi menjadi 58.67%.   Lalu dimana hasil infrastruktur di Luar Jawa yang didengungkan untuk pemerataan Jawa vs Luar Jawa?  Itu fakta lho !!!

Pilar ketahanan pangan kita rapuh produksi beras domestik sekitar 37.000 ribu ton dan impor 800 ribu ton dengan tingkat ketergantungan terhadap impor 2%.  Walaupun tingkat ketergantungan beras terhadap impor kecil, namun tingkat ketergantungan terhadap impor gamdum yang fungsinya sama dengan beras sangat sangat besar.  Indonesia menjadi importir  gamdum terbesar di dunia dengan volume 12.500 ribu ton atau sekitar 34% terhadap beras.

Indonesia juga sebagai importir terbesar dunia untuk gula dengan volume 4.550 ribu ton dan produksi domestik sekitar 2.200 ribu ton dengan tingkat ketergantungan terhadap impor 207%.

Indonesia sebagai importir kedele ketiga terbesar dunia dengan volume sebesar 4.450 ribu ton.  Dengan tingkat produksi domestik sekitar 1000 ribu ton maka ketergantungan terhadap impor 445 %.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun