“Mengapa anda berkata seperti itu?”
“Karena, saya melihat kenyatannya”
Meski terlihat bahagia, tentu Salma yang masih sedikit-sedikit sholat, ikut pula ke gereja bersama Randy dan anak-anak. Saat tumbuh besar, mereka tidak mengenal kakek neneknya, pun, kehidupan agama dan sosial mereka ngga juga di atur sama orang tua.
“Kenyataan pahit dengan adanya narasi gila Cinta Beda Agama, lah apa yang menjadi tujuan utama mereka melakukannya? Apakah dengan itu, mereka akan membangun generasi yang berkeyakinan kuat? Apakah mereka akan mengikat tali hubungan dengan orang tua, atau justru merusaknya?
Lalu, Aldo yang beranjak tua masih ngejomblo, bertemu siswi SMA di sudut jalan lagi terpekur. Ia tanya, “Rumahmu mana?” yang di tanya menggeleng. Ia tak mau hidup di dunia yang membosankan itu.
“Tapi saya sadar kesalahan saya waktu mahasiswa. Bahwa orang-orang yang semacam itu jangan di benci secara verbal atau kita terang-terangan memusuhinya. Menguntit, bikin status. Saya hampir tidak melakukan apapun yang berguna untuk mereka!”
Randy dan Salma tengah kelimpungan mencari anak mereka, hingga mau ikut aliran sesat.
“Maka dalam interview kalian yang mencari pembenaran cinta beda agama, saya menolaknya. Bahwa cinta harus menimbulkan manfaat dalam hubungan sosial dengan siapapun. Kita tidak bisa membiarkan agama dan manusia terpisah menjadi saling terasing. Apa yang mau kalian cari? Kalian hanya sedang menghancurkan diri sendiri”
Aldo berfoto selfie dengan si anak SMA.
“Apa yang mau kalian bawa kalau mati nanti? Keyakinan apa yang ingin kalian tinggalkan untuk menguatkan keturunan ini? Yang tidak sedinamis budaya yang berubah-ubah menurut nafsu, atau peraturan pemerintah yang labil. Tidak ada Tuhan yang namanya manusia! Tuhan ada untuk satu aturan yang benar!”
Tukang interview pun bertanya lagi, “Apa itu berarti, kita harus mendefinisikan lagi cinta dan kebahagiann itu kah maksudmu?”