Mohon tunggu...
Nivda Ramadhini
Nivda Ramadhini Mohon Tunggu... Administrasi - Akuntan

on my 3rd years in uni, an international relation student & also a worker in one of company in Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Lucinta Luna sebagai Simbol Kecil Intoleransi di Indonesia

28 Juli 2022   17:29 Diperbarui: 28 Juli 2022   17:31 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Lucinta Luna sebagai simbol intoleransi di Indonesia

*Semua pendapat dalam artikel ini bersifat personal dan bukan atas tanggung jawab Kompasiana maupun background kampus penulis.

"Kekerasan dan kebencian dengan mengatasnamakan Tuhan adalah suatu tidakan yang sama sekali tidak bisa dibenarkan." (Paus Fransiskus, Kompas, 27/11/2015).

Pendahuluan

Tumbuh besar di Indonesia dengan background culture yang sangat diverse, tidak langsung membuat saya paham bahwa dari banyaknya perbedaan tersebut, kita sebagai individual harus menghargai yang lain dengan tidak meledeki atau mencemooh seseorang lainnya hanya karena berbeda dengan kita. Everyone need education, but when they're not privileged enough to get that basic things, doesn't mean they can be intolerance with others. It takes years for me too, to finally understand about it. Entah dari social media yang saat ini mulai lebih "Open" atau dari background kuliah saya, yang membuat saya harus "Open" terhadap perbedaan tersebut. Dari SD sampai dengan sekarang duduk dibangku kuliah selama 3 tahun di salah satu universitas di Jakarta tentu membuat lingkungan saya dikelilingi oleh banyaknya perbedaan. Entah itu bertemu teman sekolah yang berbeda daerah, misalnya dari Papua, Sumatera, Kalimantan dsb. Juga di kampus ada perbedaan sederhana seperti perbedaan umur, perbedaan jenis kelamin, perbedaan tinggi badan maupun berat badan, perbedaan pendapat saat di kelas. But does it makes me accept the diversity right away? I don't think so. Seperti yang saya sampaikan diawal, it takes time to me to finally understand it. Lantas bagaimana dengan yang lain? Dengan masyarakat Indonesia yang lain, yang mungkin tidak bisa merasakan privilege untuk mengakses internet untuk "educate themselves", atau mereka yang tidak bisa berkuliah untuk "open up their eyes"? For me, the answer is, the environment. Lingkungan mereka.

As written on title, Lucina Luna sebagai simbol Intoleransi di Indonesia. Saya akan membahas mengenai beliau. Lucinta Luna, dikenal sebagai pedangdut cantik tanah air yang juga menjadi bagian dari Duo Bunga bersama Ratna Pandita dengan goyang andalan yang diberi nama Bunga Mekar. Nama Lucinta Luna mulai ramai dibicarakan dikarenakan isu yang menyebutkan bahwa Lucinta Luna adalah seorang Transgender. Wanita kelahiran Jakarta, 16 Juni 1992 ini diberitakan sempat ikut reality show bertajuk Be A Man, sebuah acara yang bertujuan untuk mengembalikan para waria agar kembali ke kodratnya. (Sumber: Viva.co.id). Per 28 Juli 2022, Lucinta Luna memiliki followers sebanyak 2,8juta pengikut diakun instagramnya yang memiliki username lucintaluna_manjalita.

Jika melihat akun instagram Lucinta Luna, dan melihat kolom komentar di instagramnya, tidaklah asing bagi kita melihat komentar netizen yang mengungkap Lucinta Luna adalah seorang waria. Seperti "Kodam Fashion Week", "Jangan Ratu, takut khodamnya balik lagi" pada suatu postingan Lucinta Luna mengenai keinginannya untuk ikut Citayem Fashion Week yang sedang ramai dibicarakan (Sebuah istilah dari ramainya daerah SCBD yang inisial aslinya Sudirman Central Business District, menjadi Sudirman, Citayem, Bojong Gede, Depok karena banyaknya anak-anak remaja Citayem -- Bojong Gede yang berkumpul didaerah tersebut dan ramai diberbagai social media).

Lantas apa inti dari hal ini? You guys said right, netizen -- netizen yang saya sebutkan tersebut memberikan contoh kecil intoleransi yang terjadi di Indonesia. Menurut KBBI, Toleransi berasal dari kata Toleran, yang artinya bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sedangkan definisi Intoleran dalam KBBI, yaitu tidak tenggang rasa, tidak toleran. Intoleransi, dalam kata lain, adalah kebalikan dari semua prinsip yang terdapat dalam toleransi.

Saat Lucina Luna sudah mendeklarasikan dirinya sebagai wanita, kita sebagai human being, jika bertoleransi, akan menghargai beliau dengan tidak menyebutnya "Waria", "Wanita Jadi-Jadian","Manusia 9 Nyawa" dan ejekan lainnya, karena mengingat gagasan Bung Karno (1945): "Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsawanan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara 'semua buat semua'. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tapi semua buat semua."

Dengan mengartikan negara sebagai 'semua buat semua', maka Soekarno mendefinisikan negara sebagai sebuah kerangka universal yang mana termasuk agama, kelas sosial, etnis dan golongan. Pendahulu kita sadar bahwa kegagalan menjaga keanekaragaman akan menjadi bumbu kehancuran negara. Untuk itu mereka menyepakati satu hal yang membangun bangsa ini dengan keberagaman sebagai fondasinya. Bahwa negara tidak boleh didasarkan pada satu golongan saja maupun etnis tertentu saja.  

Konflik atau persoalan yang mengatas namakan agama juga marak sekali di kalangan. Masyarakat selama beberapa tahun terakhir khususnya di media sosial.  Permasalahan mengenai agama memang sangat rentan jika diperbincangkan, terlebih terdapat oknum-oknum yang terlalu ekslusif mengklaim ajaran agamanya. Pada isu Lucinta Luna juga tidak terlepas dari persoalan tersebut. Ada kubu yang kontra mengatasnamakan agama, ada juga kubu yang pro dengan memberikan sifat humanism-nya.

Sikap toleransi antarpenganut agama yang selama ini terbangun seolah lenyap ditelan bumi, berganti dengan sikap intoleransi yang penuh curiga dan saling menyalahkan. Klaim si paling benar menjadi pemandangan yang cukup sering & kian kental, seakan nyaris sulit dan kian rumit untuk diselesaikan. Menurut Misrawi (2012), pluralitas agama, suku, budaya, dan bahasa di Indonesia memunculkan kekhawatiran banyak kalangan, terutama terkait maraknya intoleransi, dan kekerasan Fenomena intoleransi dan konflik bernuansa agama di Indonesia seakan menguatkan kecurigaan bahwa agama sebagai penyebab konflik, pemicu tindak kekerasan, dan beragam perilaku yang terkadang bukan sekadar melahirkan kebencian, tapi juga permusuhan, dan peperangan dahsyat di antara sesama manusia. Menurut Kimball (2013:1), sejarah menujukkan bahwa cinta kasih, pengorbanan, dan pengabdian kepada orang lain sering kali berakar pada pandangan dunia keagamaan. Pada saat bersamaan, sejarah menunjukkan realitas agama yang dikaitkan langsung dengan contoh terburuk sikap dan tindakan manusia. Tak aneh bila kemudian agama di dunia dinilai sebagai sesuatu yang paradox.

Konflik atau pertentangan, terlebih konflik keagamaan selalu memiliki nilai berita. Dono Darsono dan Enjang Muhaemin (2012 : 30) menegaskan, konflik antara satu pihak dengan pihak lainnya selalu menarik wartawan untuk mengangkat pena, menulis berita. Dalam pandangan Sudibyo (2009 : 54-55), tatkala wartawan menulis berita, posisinya bukan hanya sebagai penjelas, tetapi juga melakukan proses konstruksi peristiwa dan realitas yang dilihat dan diamatinya.

Dalam isu Lucinta Luna ini, oknum oknum netizen tertentu meyakinkan netizen lainnya didalam kolom komentar instagram, maupun hate speech melalui video tiktok / video reels di Instagram dengan mengatasnamakan agama, menyebarkan kebencian dan cemooh lainnya yang bisa dibilang cukup tidak manusiawi. Penulis sebagai netizen, jika boleh menyampaikan pendapat saya, sebagai pribadi individual dan manusia biasa, saya tidak bisa membenarkan perilaku Lucinta Luna sebagai transgender maupun juga menyalahkan, karena saya tidak sama sekali berhubungan dengan beliau. Menurut saya selama Lucinta Luna tidak memberikan contoh buruk seperti penyebaran kebencian dsb, saya rasa, saya tidak punya hak untuk judge Lucinta Luna. Namun, memang, ada saat-saat dimana Lucinta Luna ini sendiri "ribut" dengan sesama influencer yang mana membuat ramai dunia sosial media yang mana itupun keluar dari topic yang saya bicarakan yaitu beliau as transgender. Itupun saya tidak punya hak. Jika memang bisa menyampaikan nasihat, lebih baik langsung ke direct messages instagram, yang saya kurang yakin juga akan dibaca oleh Lucinta Luna.

Saya pun dikelilingi teman-teman yang cukup kuat agamanya dan mereka -- mereka ini menganut ide -- ide agama yang tidak membenarkan perilaku Lucinta Luna, namun selama kepeduliannya tersebut masih bersifat manusiawi dan tidak menjatuhkan saya rasa there's nothing wrong with it(tidak mencemooh, menjatuhkan dan menyebarkan kebencian yang berlebihan dan jauh dari kata manusiawi).

Balik lagi dengan paragraf awal yang saya tuliskan, lingkungan lah yang mempengaruhi seseorang. Tidak mendapatkan edukasi yang cukup bukan berarti orang bisa bersikap intoleran terhadap hal lainnya, karena menghargai keputusan seseorang adalah sesuatu hal kecil yang harus kita lakukan.

Dilansir dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dampak negatif kurangnya pemahaman atas keberagaman, yaitu:

Adanya perpecahan bangsa yang terjadi karena konflik sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Bisa karena ekonomi, status sosial, ras, suku, agama, dan kebudayaan.

Memandang masyarakat dan kebudyaan sendiri lebih baik, sehingga menimbulkan sikap merendahkan kebudayaan lain. Sikap ini mendorong konflik antarkelompok

Terjadinya konflik ras, antarsuku, atau agama

Terjadinya kemunduran suatu bangsa dan negara, karena pemerintah sulit membangun kebijakan.

Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan Menghambat usaha pembangunan dan pemerataan sarana dan prasarana.

Dalam buku Pluralisme, Konflik, dan Perdamaian (2002) oleh Elga Sarapung, beberapa cara menghindari sikap intoleransi sebagai berikut:

Tidak memaksakan kehendak diri sendiri kepada orang lain

Peduli terhadap lingkungan sekitar

Tidak mementingkan suku bangsa sendiri atau sikap yang menganggap suku bangsanya lebih baik

Tidak menonjolkan suku, agama, ras, golongan, maupun budaya tertentu

Tidak menempuh tindakan yang melanggar norma untuk mencapai tujuan Tidak mencari keuntungan diri sendiri daripada kesejahteraan orang lain.

Untuk belajar mengenai hal tersebut, kita harus mencoba menjadi Open Minded. Open mindedness merujuk pada kemampuan untuk berpikir fleksibel; menoleransi sudut pandang yang beragam atau bertentangan dan memperlakukan semua sudut pandang dengan sama, sebelum analisa dan evaluasi lebih lanjut; kemampuan menilai sudut pandang secara objektif tanpa prasangka apapun; terbuka terhadap umpan balik dan kritik konstruktif; dan mengeksplorasi ide-ide yang 'tidak biasa' (Dwyer, 2019).

Singkatnya, being open minded itu adalah saat kita menjadi terbuka dan terima akan segala ide, sudut pandang, prinsip, dan hal-hal yang bisa saja bertentangan dengan apa yang kita percayai. Menjadi open minded doesn't mean kamu semerta-merta mengiyakan apapun yang dikatakan orang lain kepadamu. Kamu tetap bisa berpegang teguh pada pendirianmu sambil mempertimbangkan sudut pandang lainnya yang memungkinkan namun bertentangan dengan apa yang kamu percayai selama ini. It's all about being open.

Menjadi open minded juga ada batasnya. Menjadi open minded juga bukan berarti bahwa kamu harus mempertimbangkan semua hal yang ada. Tetapi ketika kamu mencoba untuk berempati dan mengerti jalan pikiran orang lain, kamu akan membuka diri akan hal-hal yang positif. (sumber: satupersen.net) Pada konteks Lucinta Luna, bukan berarti kamu bisa membenarkan maupun menyalahkan Lucinta Luna menjadi transgender, kamu bisa berpegang teguh pada apa yang menurut kamu benar, namun tetap berempati dan mencoba mengerti jalan pikiran orang lain mengenai Lucinta Luna yang mungkin berbeda dengan kamu, kamu tetap membuka diri dengan hal hal positif dan tidak completely tutup mata dan tutup telinga. You're open with the discussions.

Ciri-ciri orang yang memiliki pikiran yang terbuka dapat dinyatakan sebagai berikut: mereka memiliki rasa penasaran yang tinggi, mereka tidak marah ketika mereka salah, mereka rendah hati dengan ilmu yang mereka miliki dan memikirkan apa yang dipikirkan orang lain, dan mereka percaya serta ingin mengetahui sudut pandang orang lain (Cherry, 2020).

Menjadi open minded mungkin terlihat menyulitkan, karena kamu harus selalu siap untuk menerima hal-hal baru yang tidak jarang sangat bertentangan dengan prinsip hidupmu bahkan mungkin agamamu. Ini mungkin terasa sulit bagi beberapa orang (aku pun terkadang merasa sulit!), namun menjadi open minded dapat memberikanmu dampak positif! Karena kembali lagi, we don't need to believe what people say, kita tetap bisa berdiri dengan pendirian kita, kita tetap bisa percaya pada aturan agama kita, yang terpenting menjadi open minded adalah kita terbuka dengan segala sudut pandang. Penulis akan menegaskan ulang, , we don't need to believe what people say, kita tetap bisa berdiri dengan pendirian kita, kita tetap bisa percaya pada aturan agama kita, yang terpenting menjadi open minded adalah kita terbuka dengan segala sudut pandang. 

As a muslim myself dan hubungannya dengan isu Lucinta Luna ini, penulis tidak perlu membenarkan maupun menyalahkan Lucinta Luna, karena kembali lagi, penulis tidak berhubungan dengan Lucinta Luna. Penulis hanya perlu berempati dan menerima keputusan Lucinta Luna sebagai transgender. Its her life anyways. Kasus Lucinta Luna hanyalah kasus kecil dari banyaknya kasus intoleran yang ada di Indonesia, namun penulis harap dengan artikel ini, dapat membuka mata netizen untuk lebih berhati hati dalam berkomentar di social media, maupun membuat konten di social media. Karena data online akan selalu ada selamanya jika sudah terpublish, menjadi seseorang yang intoleran sama sekali tidak baik. Dan penulis percaya bahwa setiap agama mengajarkan untuk menjaga toleransi kepada sesama. Agama selalu mengajarkan kebaikan. If you're religious enough, then I believe you're just human, pls be nice with another human being. It costs u 0 rupiah to being nice, I hope you remember that. Thank you.

*Semua pendapat dalam artikel ini bersifat personal dan bukan atas tanggung jawab Kompasiana maupun background kampus penulis. Penulis masih sangat kurang ilmu, I deeply sorry if I ever offend you guys dalam penulisan ini. Mohon maaf apabila ada kesalahan & penulis terima kritik dalam bentuk apapun untuk meningkatkan kualitas penulisan. Sekali lagi, Terima Kasih.

Sumber:

Kaum Muda, Intoleransi, dan Radikalisme Agama oleh Zuly Qodir. Yogyakarta. 2016

https://id.wikipedia.org/wiki/Lucinta_Luna#:~:text=Ayluna%20Putri%20(lahir%2016%20Juni,penyanyi%2C%20dan%20pemeran%20berkebangsaan%20Indonesia.

https://setara-institute.org/memahami-situasi-intoleransi/

https://www.kompas.com/skola/read/2021/02/22/165337469/dampak-negatif-intoleransi-dan-cara-menghindarinya

https://lipipress.lipi.go.id/detailpost/menilik-fenomena-intoleransi-di-indonesia-masa-kini

https://satupersen.net/blog/apakah-dengan-open-minded-bisa-lebih-toleransi

https://satupersen.net/blog/cara-menjadi-open-minded

https://www.thejakartapost.com/academia/2017/01/17/coping-with-growing-intolerance-in-indonesia.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun