Hukum wadh'i bukanlah dalam bentuk tuntutan, tetapi dalam bentuk ketentuan yang ditetapkan pembuat hukum sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hukum taklifi atau merupakan akibat dari pelaksanaan hukum taklifi itu. Formulasi hukum wadh'i ada tujuh, yaitu sebagai berikut:
a. As-sabab,
yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi sebab terjadinya hukum taklifi. Dengan kata lain, bila sebab itu ada, maka berlakulah hukum taklifi. Misalnya kewajiban salat magrib dihubungkan dengan tenggelamnya matahari. Maka dengan tenggelamnya matahari (sebagai sebab), berarti kewajiban salat magrib sudah berlaku (musabbab).
b. As-syarl,
yaitu sesuatu yang ditetapkan oleh pembuat hukum menjadi syarat terdapatnya hukum taklifi. Dengan kata lain, bila syarat terpenuhi, maka berlaku hukum taklifi. Tetapi jika tidak, maka hukum taklifi bellum berlaku. kewajiban zakat misalnya, disyaratkan terpenuhinya aturan nisab dan haulnya.
c. Al-mani',
yaitu sesuatu yang dijadikan oleh pembuat hukum sebagai penghalang berlakunya hukum taklifi. Bila ia ada, maka hukum  taklifi tidak berlaku. umpamanya, keadaan haid bagi wanita menyebabkan terhalangnya melakukan solat dan puasa.
d. Sah,
yaitu akibat hukum dari sesuatu perbuatan taklifi yang sudah terpenuhi , baik sebab, syarat dan tidak adanya penghalang. Sebagai contoh, salat zuhur telah dilakukan setelah tergelincir matahari, setelah wudu' Â dan dilakukan oleh mukallaf yang tidak terhalang oleh karena haid misalnya.
e. Batl,
yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak memenuhi sebab atau syarat, atau terpenuhi keduanya. Tetap terdapat penghalang. Umpamanya, salat magrib sebelum tergelincir matahari, atau tidak berwudu atau keduanya terpenuhi, namun dilakukan oleh mukallaf yang haid
f. 'azimah,
yaitu pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil umum tanpa memandang kepada keadaan mukallah yang melaksanakannya. Misalnya, haram memakan bangkai untuk semua umat islam dalam keadaan apapun.
g. Ruksah,
yaitu pelaksanaan hukumtaklifi berdasarkan dalil yang khusus sebagai pengecualian dari dalil yang umum oleh sebab keadaan tertentu. Misalnya, memakan bangkai dalam keadaan darurat.
Baca juga: Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional
BAB III
PENUTUP