Pagi itu suasana di sekolah Fahmi cukup lengang. Semua siswa sudah masuk kelas. Ada beberapa siswa yang masih hilir-mudik di luar kelas hendak mengambil beberapa peralatan olahraga. Senin yang dinamis di Sekolah Cita.
Suasana di ruang guru Sekolah Cita hanya ada beberapa guru yang tengah mengerjakan beberapa pekerjaan administratif. Langkah Pak Uji sangat berat hari itu. Meninggalkan rumah dengan gamang. Dio, anaknya yang bungsu, sakit.
Pak Uji penjaga Sekolah Cita. Relawan lebih tepatnya. Tepat pukul 07.30. Pak Uji sudah selesai membuatkan dan mengirimkan teh manis untuk guru-guru di Sekolah Cita.
Langkah Pak Uji terhenti manakala melihat dua anak kelas tiga sedang berada di ruang kelas lima. "Dudung dan Fahmi, di luar kenapa?" Pak Uji bertanya sambil setengah berbisik.
"Kami dihukum, Pak."
"Lho kenapa?"
"Kami belum mengumpulkan tugas. Lupa, Pak." Dudung yang sejak tadi menjawab. Sementara Fahmi hanya terdiam dengan raut muka yang semrawut.
"Tumben, biasanya kalian berdua gak pernah dihukum. Kenapa?"
Percakapan antara Pak Uji, Dudung, serta Fahmi terus berlangsung. Tiba-tiba, Bu Tika memanggil keduanya untuk masuk.
"Ayo masuk kalian berdua."
"Ini ada tugas lagi ayo kerjakan dulu, Ibu mau ada pelatihan. Harus selesai!"
Pak Uji melihat adegan itu dan menghela nafas. Teringat Dio anaknya di rumah.
**
Petang itu, Pak Uji memeriksakan Dio. Pak Uji cukup lega mengetahui bahwa Dio hanya demam biasa. Resep yang diterimanya dimasukkan ke dalam saku jaket berwarna biru tua.
"Dio, Bapak antar kamu pulang dulu, ya. Bapak akan tebus obat ini dulu. Nanti Dio makan dulu sama Ibu terus nanti tunggu Bapak pulang, diminum obatnya."
Pak Uji memarkirkan motornya di halam rumah sederhananya itu.
"Bu, Dio hanya demam. Aku tak nebus obat dulu."
Bu Uji menganggukkan kepala sambil mengantar suaminya pergi mengendarai motor ke apotik.
"Dio ayo maem dulu.."
**
Keesokan pagi di Sekolah Cita. Sebagian guru bertugas di luar sekolah. Sebagian siswa ditugaskan untuk membersihkan ruangan kelas diawasi oleh guru-guru yang tidak tugas.
Hari itu, Pak Uji membersihkan ruangan perpustakaan sekolah. Ada beberapa anak di sana. Pak Uji juga melihat Dudung dan Fahmi bersama 4 anak lainnya.
"Dung, kamu 'bodo'! Makanya jadi sering dihukum, rasain!"
Samar-samar Pak Uji mendengar seorang siswa menghardik Dudung.
Dudung tidak merespon sepertinya. Kemudian ada suara lagi. "Makanya jangan males, kamu. Udah bodo, miskin lagi."
"Iya, sama kayak kamu Fahmi. Jangan belagu kalo masih miskin!"
Pak Uji kemudian keluar dari ruangannya.
"Ini ada apa, koq mulut siswa sekolahan seperti itu? Ada apa, Dung? Ada apa Fahmi?
Dudung dan Fahmi tidak menjawab dan hanya menunduk.
"Ini lagi, penjaga sekolah saja mau ikut-ikutan!"
Lagi-lagi suara anak yang menghardik Dudung dan Fahmi kembali menghardik Pak Uji.
"Pak Uji tidak mau ikut-ikutan, Nak. Hanya bertanya, koq sesama siswa bicaranya seperti itu. Pak Uji juga gak sekolah tapi Pak Uji tau bahwa apa yang dikatakan kamu tadi itu tidak baik. Pak Uji juga udah merekam tadi."
Anak yang bernama Edo terdiam.
"Kamu anak Pak Salim, kan?"
Pak Uji berbicara pada Edo. Anak Pak Salim, seorang pejabat di daerah dimana Sekolah Cita berada.
**
Hari itu, Sekolah Cita, tanpa Pak Uji. Pak Uji tidak diperkenankan lagi membantu di sekolah itu. Seperti biasa, hari itu guru-guru pergi melakukan pelatihan.
Sementara itu, di rumah Pak Uji. Ada suara televisi yang sejak tadi didengarkan Pak dan Bu Uji sambil mengerjakan pekerjaan rumah. Dio sudah lebih sehat.
Anak usia 11 tahun itu terlihat mengambil tongkat. Untuk membantunya berjalan.
Sayup-sayup terdengar suara dari televisi di rumah Pak Uji.
"..kami akan bersama-sama membangun Indonesia. Saya tidak dipanggil, tapi kami akan bersama-sama membangun Indonesia.."
Pak Uji membatin, "amin'.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H