Sosok wanita ayu berusia kisaran 4o tahun an itu selalu menutupi semua hal dengan keceriaan dan kecakapannya di dunia kerja, dunia profesi yang dijadikan pelampiasan dan pelariannya dari sebuah hal yang ingin ditutupinya. Perkenalan dengan Ganesha memberikan sebuah pengalaman batin yang berbeda, sebuah rasa yang berbeda. Walaupun memang belum jelas rasa apa itu.
Suasana hati dan jiwa Mentari begitu berbeda. Wajah Ibu Rahutami juga sangat ceria, berbeda dari biasanya. Pertemuan hari itu menjadi pembuka batin bagi keempat orang yang berada di kamar bercat krem, kamar Cahaya Senja Mentari Dharmawan.
Mentari yang beberapa saat terkenal dingin, judes binti jutek, tidak pernah terlihat sisi wanitanya. Ego menjadi pemimpin hidupnya. Keputusan-keputusan yang dibuatnya berdasarkan kesongongan diri. Menuntut diri lebih dan membuatnya menjadi sosok yang keras tak terkalahkan apalagi dalam memandang laki-laki.
Apakah benar trauma dan luka-luka itu telah diusirnya pergi? Apakah memang valid bahwa Ganesha yang datang tanpa sengaja, tidak terduga, dan di waktu yang tepat itu berhasil memberikan 'pembebasan'?
Ah rasanya itu semua tidak lagi menjadi penting. Trauma dan luka itu memang selayaknya harus diputuskan untuk selesai, tidak untuk terus dihayati apalagi dipelihara serta dirawat. Yang terpenting, Mentari berani untuk memutuskan, setidaknyamemilih untuk  menerima semua rasa yang wajar dirasakan dalam hidup, bukan menolaknya.
Di sisi lain, Mentari memilih sebuah pilihan untuk tidak terbelenggu dalam luka dan trauma terus-menerus. Memilih hidup yang tidak terkungkung dalam belenggu masa lalu. Cinta dari orang-orang yang berada di sekelilingnya membawa pada pengenalan hidup yang hakiki. Kesempatan dari Pencipta yang diberikan tentu tidak boleh disia-siakan, menghidupi hidup dengan memaknai lebih dalam serta mensyukurinya.
Mata Mentari memandangi satu per satu, wajah-wajah yang penuh dengan sukacita, walau ada rasa nyeri secara fisik akibat kecerobohannya di Bantir, itu tidak lagi menjadi fokusnya. Rona-rona bahagia dan pancaran rasa sukacita yang terlihat dari wajah ketiga orang yang hadir dalam hidup Mentari itu sudah menyita hampir semua fokusnya, melupakan rasa sakit fisik yang sedang dialaminya, sejenak. Tak disangkal, yo mesti sakitlah, beradu dengan koral dan batu saat di Bantir tadi.
Matahari sudah mulai terbenam, Mbok Tirah terlihat telah menyalakan beberapa lampu di beberapa ruangan. Ibu Rahutami mengajak Ganesha untuk makan bersama. Ganesha membantu Mentari untuk duduk di kursi roda yang dibawa dari Bantir untuk mengantarnya ke meja makan.
Mbok TIrah setelah usai menyalakan lampu di bagian samping ruang makan, mengambil beberapa serbet makan dari dalam lemari dapur dan meletakkan di meja makan.
Ada sepasang mata yang mengamati rumah Ibu Rahutami dari luar. Mata itu, begitu dikenal baik di keluarga Dharmawan beberapa waktu lalu. Sosok yang pernah akrab dengan salah satu anggota keluarga ini. Dia memandang dari dalam mobil yang mesinnya belum dimatikan, sekitar tiga hingga 5 menit.
Wajahnya tidak terlalu menyiratkan sukacita. Ada rasa galau terlihat tetapi kemampuan pengendalian dirinya tidak menyangatkan rasa galau itu. Beberapa saat kemudian, mobil itu melaju pelahan menuju arah utara dan keluar dari kawasan rumah Ibu Rahutami.
Sementara itu di meja makan..
"Mbok Tirah dan Ibu, ini benar-benar enak. Mamak Saya orang Jawa juga, beliau berasal dari Surabaya. Rawon juga menjadi makanan yang tidak asing untuk Saya. Makanan hari-hari." Ganesha memuji masakan Mbok Tirah dan menjelaskan pada Ibu mengenai keluarganya.
"Wah terima kasih jika berkenan.. Oh, jadi Nak Ganesha ada keturunan Jawa juga, ya?" Ibu menanggapi.
"Iya, Bu. Saya separo Jawa. Ayah Saya bermarga Sembiring. Kami orang Karo, Ibu. Maka banyak yang becanda, kami ini PerJaKa, Peranakan Jawa dan Batak Karo.."
Semua menanggapi dengan tertawa perbincangan yang terjadi di meja makan petang itu. Ponsel Mentari berbunyi, tas tangan yang sedari tadi masih terlilit di pundaknya, dibukanya dan diambilnya dari dalam tas berwarna hitam coklat itu.
Muncul di layar ponselnya, wajah keponakannya tercinta. Yvonne. Poni tebalnya semakin melukiskan kelucuan wajahnya.
"Halo, Ipong.. "
Mentari terlibat obrolan santai dengan Yvonne kemudian bergantian dengan Ibu Rahutami. Adegan yang sangat intim antara ketiganya.
"Lho, Eyang itu capa di cebelah, Ibu Cici?" Yvonne membahasakan Mbok Tirah dengan sebutan Ibu Cici, karena kecadelannya.
"Om ada lambut di dagunya.. " kembali Yvonne berceloteh mengenai rambut di dagu Ganesha.
Ibu Rahutami mengenalkan Ganesha, kemudian mereka terlibat dalam sebuah pembicaraan santai. Ganesha begitu luwes berkomunikasi dengan Yvonne. Tiara dan Gary nampak di belakangnya. Mereka sedang menunggu kolega Gary di sebuah resto bernuansa alam. Masih tampak eksotis pemandangan alamnya walau lampu-lampu taman sudah lebih mendominasi karena matahari mulai beranjak ke peraduannya.
Tiara dan Gary juga sempat berkenalan dengan Ganesha. Tiara sesekali ngeledekin kakak perempuannya, mereka tertawa lepas. Sesekali Tiara becanda seolah merajuk pada Mbok Tirah untuk menyisakan makanan-makanan yang sebenarnya dibuat untuknya dan Gary.
"Mbok, Aku kepengen Rawonnya.. Pisang Gorengnya sisain, ya.."
"Udah abis, gak ada sisanya, salahnya udah dibuatin gak kesini.." Mentari menanggapi Tiara dengan becanda.
"Lha, sapa yang ngerti ada urusan gini, Mbaa.."
Obrolan online itu terhenti tepat pukul 18.30. Pukul 19.15, Ganesha pamit dari rumah Ibu Rahutami. Ada kawan yang menjemputnya. Mentari dan Ibu mengucapkan terima kasih. Ibu Rahutami mengantar Ganesha ke depan dan menunggu mobil yang menjemput Ganesha berlalu dari hadapan Ibu.
Tangkai-tangkai bunga Lavender yang tumbuh di sebelah kolam ikan di sebelah ruang tamu ikut bergoyang seolah lambaian tangan untuk Ganesha.
(Tamat)
Nantikan kisah ini di session selanjutnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H