Ganesha dan Mentari bergantian menjelaskan kronologis kejadian siang tadi.
“Kalo gitu yang Saya marahin ya Mentari, ceroboh koq ga udah-udah.”
“Nah bener Bu, ceroboh bener emang.” Ganesha langsung memukul telak Mentari dengan pernyataan itu, mata Mentari terlhat jenaka menanggapinya, tidak terpancing, tumben juga.
Mbok Tirah dan Ibu Rahutami terkekeh dibuatnya. Ada rasa senang, bahagia melihat Mentari dan Ganesha yang memberikan warna berbeda.
“Mbak, Mas ini ada Pisang Goreng Karamel, ayo dimakan dulu.” Mbok Tirah menawarkan makanan buatannya di sela-sela obrolan mereka berempat.
“Iki jenenge keseleo, Ta. Mbok ati-ati, tho..” Ibu Rahutami memberikan wejangan di seputar perbincangan yang terjadi sore jelang petang sambil memeijat dan melihat luka yang ada di kaki Mentari.
“Mentari kelebihan energy ya, Bu.” Ganesha lagi-lagi ngeledekin Mentari. Mbok Tirah juga jadi ikutan-ikutan nimbrung untuk meramaikan suasana pembullyan terhadap Mentari.
“Besok pagi, Ibu buatkan beras kencur untuk ditempelkan, ini obat tradisional, Nak Ganesha.”
Suasana di kamar Mentari menjadi sangat hidup. Pemilik kamar itu seolah mendapatkan kehidupannya kembali, terutama setelah kepergian Ayah Mentari. Ganesha memberi warna yang berbeda terhadap kehidupan Mentari.
Sosok wanita ayu berusia 4o tahun itu selalu menutupi semua hal dengan keceriaan dan kecakapannya di dunia kerja. Tapi sebenarnya banyak hal yang ditutupinya. Perkenalan dengan Ganesha memberikan sesuatu yang berbeda, sebuah rasa yang berbeda. Memang belum jelas rasa itu.
(bersambung)