Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

[Rasa Mentari 8] Meredam Sukma

14 Desember 2023   16:39 Diperbarui: 6 Januari 2024   09:36 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi/ Sumber: Pexels (Julia Volks)

"Selamat pagi, Mbak. Saya Lydia. Saya ditugasin Mas Ganesha untuk menjemput Mbak Mentari."

"Halo, selamat pagi. Terima kasih banyak, ya. Mari masuk dulu. Ibu saya tadi ada bikin teh hangat. Mari."

Keduanya kemudian masuk ke ruang tamu.

"Mari, Mbak Lydia silakan duduk dulu."

Mentari mempersilakan Lydia untuk duduk di ruang tamu. Ruang tamu yang sangat nyaman, dengan tatanan interior khas ibu. Simpel tapi meneduhkan. Mentari berjalan ke dapur untuk mengambil dua cangkir teh hangat yang sudah dibuatkan oleh Ibu. Dua cangkir teh sudah ada di nampan yang dibawa Mentari.

"Monggo, Mbak diminum dulu."

"Terima kasih banyak, Mbak."

"Sama-sama, Mbak."

"Mbak Mentari maaf apakah sudah pernah terlibat dalam komunitas sebelumnya?"

"Tidak pernah, Mbak. Ini yang pertama untuk saya. Adik saya di Bali yang justru teribat aktif di dalam sebuah lembaga yang mengurus anak-anak dengan hambatan dalam wicara. Dia mendalami teknik komunikasi dengan bahasa isyarat, Mbak."
"Oh, ya? Menarik sekali, Mbak. Siapa tahu kapan-kapan bisa bergabung dengan komunitas kami. Event ini rencananya diadakan tiap tahun sekali, Mbak. Ini adalah event pertama setelah peresmian lembaga kami. Dulu kami mengadakan tiap enam bulan sekali per daerah, belum menasional seperti sekarang. Kami ada di 7 kota di seluruh Indonesia. Empat di Pulau Jawa. Satu di Sumatera, satu di Kalimantan, dan yang paling terakhir bergabung kemarin adalah Bali."

"Sebenarnya, apa sih yang dilakukan di komunitas ini, Mbak?"

"Begini, Mbak. Kami punya concern yang sama untuk pengembangan anak-anak difabel. Awalnya ada kawan kami yang bernama Miko yang memiliki visi untuk memberdayakan anak-anak yang mengalami gangguan tumbuh kembang, tetapi mereka tidak memiliki sumber daya yang memadai, baik, secara pengetahuan dan finansial. Bahkan mereka sebagai orangtua tidak memiliki harapan untuk anak-anak mereka. Mbak, kami sangat membutuhkan  SDM-SDM yang mumpuni untuk membantu pekerjaan besar ini. Beberapa dokter spesialis kami hubungi untuk mengupayakan keberlanjutan karya karitatif ini. Juga psikiater, psikolog, dan terapis. Kami juga berupaya menghimpun donasi untuk mencukupi karya karitatif bersama ini."

Mentari menyimak semua penjelasan Lydia. Sesekali terlihat mereka berdua menyeruput teh hangat yang sudah mulai dingin.

"Kita lanjut sambil jalan yuk, Mbak."

"Okay, Mbak. Saya pamit Ibu dulu."

Mentari masuk ke dalam untuk mencari Ibu Rahutami. Ibu keluar dengan celana training warna hijau tosca dan polo shirt dengan warna senada. Kamis pagi ada senam tera yang akan Ibu ikuti dengan komunitas lansia di lingkungan gerejanya.

"Hati-hati ya, Nak."

Ibu mencium Mentari dan memeluknya. Lydia menyalami Ibu.

Lydia dan Mentari berjalan beriringan. Mentari meletakkan carrier nya di bagasi mobil. Ransel kecil dibawanya di depan. Mobil hitam itu pun melaju pelahan meninggalkan rumah Ibu. Ibu melambaikan tangan.

Pembicaraan mereka berlanjut hingga tiba di Bantir. Sebuah pelataran luas yang 'ditumbuhi' begitu banyak tenda doom dengan warna senada. Hijau lumut. Ada sebuah tenda besar berbentuk persegi berwarna putih, nampaknya tenda itu digunakan untuk ruang pertemuan acara ini.

"Halo, Kak." Seorang pemuda kisaran 35 hingga 40 tahunan menyalami Mentari. Lydia kemudian memperkenalkannya.

"Ini, Kak Miko, Mbak." Lydia mengenalkan Miko pada Mentari.

"Mentari." Mentari bersalaman dengan Miko.

"Miko. Senang, Kak Mentari bisa menyempatkan hadir. Terima kasih. Event ini event pertama. Kami masih terus membutuhkan banyak volunteer dan fasilitator. Kegiatan ini akan menjadi agenda tahunan. Berharap Kak Mentari bisa bergabung"

"Sama-sama, Kak. Saya gak punya kapasitas yang mumpuni, Kak."

"Gak mungkin, lah. Teman-teman Bang Ganesha, semuanya orang yang capable."

Perbincangan itu melebar sampai pada topik-topik penting seputar  lembaga pendana, saking asiknya hingga melibatkan banyak fasilitator dan volunteer lain bergabung dalam obrolan itu.

Acara di Bantir melibatkan sekitar 25 orang sukarelawan. 15 orang perempuan dan 10 laki-laki. Berbagai profesi ada di sana. Dokter Anak, Psikiater, Psikolog, Terapis, Guru, bahkan ada juga Bankir. Semuanya bersinergi untuk acara ini.

"Mbak Mentari nanti jam 10.00 kita akan ke tenda besar untuk acara pembukaan. Mbak saya antar ke doom dulu untuk meletakkan carrier dan perlengkapan yang dibawa. Mari, Mbak."

Mentari mengikuti Lydia menuju doom 11. Tempat untuk beberapa volunteer wanita yang akan menginap di doom tersebut.

Tampak dari kejauhan jamur-jamur raksasa berwarna hijau lumut memenuhi area luas di Bantir. Camp Nasional untuk para penyandang disabilitas ini disponsori oleh pemerintah dan beberapa LSM yang berkaitan dengan gerakan-gerakan pendukung kegiatan kaum difabel.

"Mbak, ini doom 11. Ini tempat Mbak Mentari untuk beristirahat sejenak. Silakan barang-barang Mbak diletakkan di sini. Oh, ya ini beberapa perlengkapan untuk volunteer." Lydia menyerahkan tas berwarna hitam. "Saya koordinasi dengan teman-teman dulu ya, Mbak."

"Iya, Mbak Lydia."

Mentari menerima tas berwarna hitam dari tangan Lydia. Mentari membuka tas itu pelahan. Dilihatnya ada tali tambang berwarna putih, kompas, karabiner, dan beberapa survival kit lainnya. Mentari meletakkan carrier di dalam doom. Setelah meletakkan semua perlengkapan di dalam doom tersebut, Mentari melangkah keluar.

Pemandangan di sekeliling camp cukup indah. Mentari mendekat ke tenda peserta camp. Begitu banyak anak-anak dan orangtua serta pendamping dengan wajah penuh tawa walaupun dengan keterbatasan. Sengat ceria itu menusuk hati Mentari dengan sangat dalam. Melihat beberapa sukarelawan yang sedang melakukan pendaftaran ulang bagi para peserta camp dengan sangat bersukacita melayani mereka semua.

Timbul pertanyaan di hati Mentari. Ada kekuatan apa yang membuat mereka memiliki keceriaan yang sedemikian rupa? Mentari juga merasakannya. Semacam energi baik yang mengalir di dalam diri yang menguatkan. Dan, orangtua-orangtua itu? Mengapa mereka begitu kuat dengan menampilkan senyum sedemikian rupa?

Banyak hal yang tidak masuk di logika Mentari. Pikiran itu dibawanya menjauh dari area camp menuju arah yang berlawanan. Mentari berjalan menyusuri rimbunnya pepohonan. Perempuan itu menikmati pemandangan yang tersaji indah di depan matanya. Pesona alam yang sangat mengagumkan.

Kaki Mentari tiba-tiba terantuk akar pohon yang begitu besar? Mentari terjatuh, lututnya menghantam akar pohon yang menyembul di atas permukaan tanah bebatuan di sekitarnya. Adegan itu membuat sobekan di celananya. Ada darah merembes, di sekitar lututnya.

"Awwww!" Mentari berteriak dengan kuat. Dia merasa sangat kesakitan. Tubuhnya nyaris terguling. Untungnya Mentari menggunakan jaket yang cukup tebal, sehingga kerikil yang diinjak oleh tubuhnya tidak terlalu menyakiti.

Ada langkah kaki yang mendekat kemudian dengan sigap membantu Mentari menangkap tubuhnya yang terguling di ceruk tanah beberapa ratus meter dari area camp. Mentari melihat sekilas, nampak seperti Ganesha, tapi kemudian gelap....

(bersambung)

kisah sebelumnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun