"Sebenarnya, apa sih yang dilakukan di komunitas ini, Mbak?"
"Begini, Mbak. Kami punya concern yang sama untuk pengembangan anak-anak difabel. Awalnya ada kawan kami yang bernama Miko yang memiliki visi untuk memberdayakan anak-anak yang mengalami gangguan tumbuh kembang, tetapi mereka tidak memiliki sumber daya yang memadai, baik, secara pengetahuan dan finansial. Bahkan mereka sebagai orangtua tidak memiliki harapan untuk anak-anak mereka. Mbak, kami sangat membutuhkan  SDM-SDM yang mumpuni untuk membantu pekerjaan besar ini. Beberapa dokter spesialis kami hubungi untuk mengupayakan keberlanjutan karya karitatif ini. Juga psikiater, psikolog, dan terapis. Kami juga berupaya menghimpun donasi untuk mencukupi karya karitatif bersama ini."
Mentari menyimak semua penjelasan Lydia. Sesekali terlihat mereka berdua menyeruput teh hangat yang sudah mulai dingin.
"Kita lanjut sambil jalan yuk, Mbak."
"Okay, Mbak. Saya pamit Ibu dulu."
Mentari masuk ke dalam untuk mencari Ibu Rahutami. Ibu keluar dengan celana training warna hijau tosca dan polo shirt dengan warna senada. Kamis pagi ada senam tera yang akan Ibu ikuti dengan komunitas lansia di lingkungan gerejanya.
"Hati-hati ya, Nak."
Ibu mencium Mentari dan memeluknya. Lydia menyalami Ibu.
Lydia dan Mentari berjalan beriringan. Mentari meletakkan carrier nya di bagasi mobil. Ransel kecil dibawanya di depan. Mobil hitam itu pun melaju pelahan meninggalkan rumah Ibu. Ibu melambaikan tangan.
Pembicaraan mereka berlanjut hingga tiba di Bantir. Sebuah pelataran luas yang 'ditumbuhi' begitu banyak tenda doom dengan warna senada. Hijau lumut. Ada sebuah tenda besar berbentuk persegi berwarna putih, nampaknya tenda itu digunakan untuk ruang pertemuan acara ini.
"Halo, Kak." Seorang pemuda kisaran 35 hingga 40 tahunan menyalami Mentari. Lydia kemudian memperkenalkannya.