Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

[Sebuah Catatan Reflektif] Apakah Pendidikan yang Memerdekakan Hanya Sebuah Utopia?

11 Mei 2022   07:03 Diperbarui: 11 Mei 2022   08:16 1410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pendidikan yang memerdekakan anak | Sumber: Tanoto Foundation via Kompas.com

Semesta inilah sekolah
dari pengalaman yang kita olah
tentu juga belajar dari salah
dan bukankah warna tak harus selalu merah?

Memaknai pendidikan yang merdeka tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sudut pandang dan paradigma berpikir pemaknaan pendidikan itu sendiri memiliki kontribusi besar.

Suatu saat diskusi mengenai hal ini menjadi sebuah pemikiran yang dalam bagi saya dan komunitas dimana kami bertumbuh bersama. Saat kami melayani di sebuah daerah, ada sedikit perdebatan dari orangtua yang tidak menganggap penting peran pendidikan buat anak-anaknya, karena yang terpenting anak bisa memenuhi kebutuhannya dengan bekerja alakadarnya.

Ada pandangan bahwa cukup menjadi juragan sayur dan memiliki armada transportasi yang memadai, tidak perlu repot-repot sekolah, karena dengan begitu anak-anaknya tetap bisa hidup. Keberhasilan dalam menjalani hidup memang masih diukur dan didominasi dari materi (sesuatu yang terlihat).

Di satu sisi yang lain, kami yang bergelut di dunia pendidikan juga sebenarnya mempertanyakan. Apakah yang kami lakukan telah seirama dengan tagline pendidikan yang memerdekakan? Tentu saja bicara mengenai konsep pendidikan akan bicara mengenai sesuatu yang ideal, walaupun mana ada kehidupan ideal selama masih tinggal di dunia ini.

Jadi ingat deh dengan proses penyusunan skripsi saat uji linearitas dan normalitas dibuat. Ada standar deviasi, sebuah angka yang menunjukkan besaran penyimpangan antara teori dengan realita penelitian di lapangan. Dari sudut pandang ini memang tidak bisa memaksakan yang ideal terjadi saat kenyataan di lapangan tidak mendukung. Tapi apakah harus mundur?

Kendala acapkali hadir justru untuk memberikan motivasi bergerak maju, memberikan motivasi untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik dengan pendidikan tidak lepas dari kendala. Kendala itu justru sarana yang dipakai semesta untuk memurnikan.

Saya dan teman-teman komunitas menjumpai begitu banyak kendala di daerah-daerah mengenai hal ini. Ada beberapa kasus yang terjadi terutama dalam beberapa tahun terakhir.

1. Anak putus sekolah

2. Anak alami gangguan emosi

3. Anak kehilangan motivasi belajar dan lebih menarik diri

4. Anak kecanduan game, gadget, dan pornografi

5. Anak jatuh adiksi seks

Realita di lapangan menunjukkan data-data semacam ini. Permasalahannya, bagaimana bisa mencari solusi bersama untuk menangani kenyataan yang ada. Tentu saling menyalahkan bukanlah sebuah solusi.

Dari sebuah obrolan ringan dengan beberapa rekan pendidik di daerah minim terungkap bahwa memang pemikiran orangtua terhadap pentingnya pendidikan harus diubah. Mengubah paradigma berpikir orangtua (masyarakat) tentu bukan hal yang mudah. Perlu proses untuk sampai pada kondisi yang mendekati ideal.

Tidak akan sinkron memang jika orangtua tidak terlibat dalam proses pendidikan anaknya. Bahkan beberapa rekan pendidik juga memberikan sudut pandang, bahwa ada orangtua yang belum mau menerima masukan-masukan positif dari rekan-rekan pendidik di daerah-daerah minim tersebut dan menganggap tradisi pendidikan dari zaman ke zaman itu yang terbaik. Padahal dunia telah mengalami perubahan signifikan. Orangtua harus HADIR.

Bukan bermaksud menyalahkan dan menyerang orangtua dalam hal ini, hanya saja pendidikan anak bukan melulu tanggung jawab pendidik di sekolah. Banyak sekali yang harus diberikan orangtua juga dalam hal ini. Kolaborasi itu menjadi mutlak ketika bicara masa depan anak. Harus dilihat berimbang dari dua sisi. 

Anak-anak membutuhkan sentuhan kasih sayang orangtua. Sekolah secara formal bertugas membekali anak dengan pengetahuan, sikap dan karakter, tetapi orangtua memiliki tanggung jawab lebih dari itu, yakni memastikan anak bisa menjalankan kehidupan dengan potensi-potensi yang mereka miliki

Orangtua adalah guru di sekolah semesta ini. Orangtua memiliki peran penting dalam menciptakan blueprint masa depan anak.

Kemerdekaan dalam pendidikan menjadi sebuah pe er bersama. Pemerintah, masyarakat, sekolah, dan keluarga dalam hal ini orangtua harus saling bersinergi.

Perubahan itu dimulai secara internal bukan menuding pihak lain sebagai motor perubahan. Pihak lain bisa menjadi pemantik, penggerak tetapi selanjutnya perubahan itu harus dimulai secara internal.

Saya sendiri selalu meyakinkan diri, bahwa kita sebagai pendidik tentu tidak mampu mengubah atau memodifikasi perilaku anak (siswa) jika tidak bekerja sama dengan orangtua sebagai salah satu motor perubahan dalam keluarga. Ini bukan bicara mengenai tindakan-tindakan one man show!

Saya meminjam salah satu karakteristik perubahannya Prof. Dr. Rhenald Kasali dari buku beliau yang berjudul Change.

"Perubahan terjadi setiap saat, karena itu perubahan harus DICIPTAKAN setiap saat pula, bukan berkali-kali."

Kemerdekaan dalam pendidikan mungkin hanya sebuah utopia ketika kita berhenti mengupayakannya. Yakinlah bahwa sinergi antara pihak-pihak yang terkait menjadi modal penting untuk mengupayakan yang mustahil itu. Perubahan besar HARUS dimulai dari perubahan-perubahan kecil yang konsisten.

SEMANGAT!

Referensi: 

Kasali, Rhenald. (2005). Change - Manajemen Perubahan dan Manajemen Harapan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun