Arief pernah menembak aku. Saat itu tanggal 14 bulan kedua tahun 2015, saat bulan penuh cinta, dia datang ke rumahku membawa buket bunga sederhana tetapi sangat mempesona. Aku tidak pernah menyangka Arief melakukannya padaku.
Betapa tidak, aku seorang Kristiani yang taat, demikian pula Arief seorang muslim yang sangat teguh pada imannya.
Hari itu aku menolaknya. 3 sahabatku tidak pernah tahu akan hal ini. Aku dan Arief menyembunyikannya. Tetapi aku bisa merasakan sakitnya hati Arief karena kutolak.
Arief sempat menghilang dari REKAN, menghilang sesaat. Aku tahu saat itu dan ini yang membuatku sedih. Ketiga temanku tidak tahu dan melihat gelagat Arief.
“Fan, Sand, kalo aku keluar dari REKAN gimana?” Perkataanku saat itu mengejutkan dua sahabatku saat itu. Aku juga tidak tahan saat Arief selalu menghindari aku.
“Tar! Kamu gila kali ya, kita bakalan sama-sama terus..!” Perkataan tegas Irfan saat itu menyadarkan aku bahwa REKAN sudah seperti keluarga bagi kami semua.
“Kenapa Tari?” Sandy menanggapi dengan lembut. Sahabatku yang satu ini seperti sosok Papa dalam REKAN.
“Entahlah, Sand. Seperti ada yang kurang sekarang di REKAN.” Jawabanku tanpa memandang wajah Sandy.
Sandy dan Irfan seperti mengetahui isi hatiku dan Arief yang sedang sama-sama mencari ruang untuk perasaan kami walaupun kami sepakat tidak akan membuka cerita ini pada ketiga sahabatku itu.
Satu bulan setelah peristiwa penolakan itu. Arief kembali datang ke rumahku. Dia menjelaskan bahwa sulit menerima awalnya. Tetapi pelahan itu harus ditepis kuat. Arief memilih untuk tetap menjalin relasi persahabatan di REKAN.
“Tari, maafkan aku. Aku tahu, yang terpenting adalah memelihara REKAN sampai selamanya. Aku akan belajar untuk mengubah perasaanku ini menjadi sebuah kasih yang tidak ada batasnya. Seperti kasih seorang saudara kepada anggota saudarinya…” Jawaban Arief cukup menyejukkan aku.