Satu waktu, kenangan itu muncul kembali…
Namanya Nia. Karunia Wijaya tepatnya. Seorang gadis berparas cantik, berhati lembut namun berpendirian keras. Batu Karang kalah keras dengan pendiriannya.
“Ini, selesaikan…”, si Batu Karang menyodorkan satu amplop coklat tebal kepadaku.
“Terima kasih..”, jawabku.
Sejak itu kami tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Nia pindah ke kota lain untuk melanjutkan studi kedokterannya, sementara aku berkutat dengan bisnis iklanku yang semakin moncer.
*
“Graha, sudah kutinggalkan semua…!”
“Kenapa?”
“Aku memilih tenang dengan tujuanku sekarang…”
Kugenggam erat tangan lembutnya.
“Sekali lagi terima kasih, Nia..”
Adegan beberapa tahun lalu itu kembali muncul mewarnai lamunanku.
**
“Tolong, berikan porsi sedikit lebih saja kepada keluarga ini, Graha…”
“Aku tidak enak pada keluargaku, Nia..”
“Baik, aku mengalah, aku pamit, Graha..!”
***
Ketololanku membuat Batu Karang pergi. Kelemahanku, secara tidak sadar menyerahkan kemudi rumah tanggaku pada kakak-kakakku. Sebuah kekeliruan terbesarku.
Kesalahanku di masa lalu membawa rasa bersalah yang besar. Penilaian semu dan pandangan keluarga menjadi tolok ukur aku melakoni hidup dengan Nia.
Harga diri dan ego membawa pada sebuah kesenjangan pada keluarga kecilku.
Aku tak bisa benar-benar memberikan prioritas bagi keluarga kecilku.
Bisnis iklanku, atas anjuran Mas Lintang kugeluti. Kudengarkan petuahnya dan abaikan saran Nia yang jelas lebih mengutamakan kesehatanku.
Waktuku di saat-saat weekend lebih banyak kupakai untuk menuruti keinginan kumpul-kumpul keluarga besarku di Kuningan. Aku tidak pernah tau jika Nia tersiksa karenanya.
Lamat-lamat kudengar….”dalam suka maupun duka…’, kalimat Pendeta Sandiel Pratama saat Holy Matrimony kami.
Kuingat jelas, saat duka, Nia justru hadir….
Dia mengalah untuk kepuasan egoku.
Saat suka, aku menghabiskannya bersama keluarga besarku di Kuningan.
Pertengkaran-pertengkaran hebat terjadi, dan uniknya bukan karena masalah-masalah internal. Seperti biasa aku selalu memenangkan keluarga besarku dalam duel itu.
Ego Mas Lintang dan dua kakakku menjadi pengendali yang merusak rumah tanggaku.
Aku seolah ingin memperlihatkan ketaatanku yang palsu pada ketiga kakakku. Bumerang itu menjadi penyebab hancurnya rumah tanggaku dengan Nia.
“Nia, berikan kesempatan sekali lagi kepadaku…”, bisikku lirih mengenangnya.
Kuakui, egoku penyumbang terbentuknya karakter Karunia Wijaya sekarang.
Saat dia telah meninggalkan semuanya demi aku. Justru kugenggam kebengisan egoku untuk melindungi sesuatu yang tidak penting.
Batu Karang itu telah menjadi pelampiasan kegagalanku di masa lalu.
Keangkuhanku lebih menempati ruang terpenting dalam hidupku.
"Pak Anugrah, ini pesanan Bapak..", lamunanku terhenti sejenak karena seorang pelayan kedai kopi yang memberikan Piccolo pesananku.
Peristirahatan sejenak di pojok rest area tol menuju ke kota Nia berada memberikan kekuatan kembali.
“Nia, maafkan aku yang tidak tau diri ini…”
Semoga masih ada kesempatan.
Sebuah kisah fiksi pertama untuk Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H