Bisnis iklanku, atas anjuran Mas Lintang kugeluti. Kudengarkan petuahnya dan abaikan saran Nia yang jelas lebih mengutamakan kesehatanku.
Waktuku di saat-saat weekend lebih banyak kupakai untuk menuruti keinginan kumpul-kumpul keluarga besarku di Kuningan. Aku tidak pernah tau jika Nia tersiksa karenanya.
Lamat-lamat kudengar….”dalam suka maupun duka…’, kalimat Pendeta Sandiel Pratama saat Holy Matrimony kami.
Kuingat jelas, saat duka, Nia justru hadir….
Dia mengalah untuk kepuasan egoku.
Saat suka, aku menghabiskannya bersama keluarga besarku di Kuningan.
Pertengkaran-pertengkaran hebat terjadi, dan uniknya bukan karena masalah-masalah internal. Seperti biasa aku selalu memenangkan keluarga besarku dalam duel itu.
Ego Mas Lintang dan dua kakakku menjadi pengendali yang merusak rumah tanggaku.
Aku seolah ingin memperlihatkan ketaatanku yang palsu pada ketiga kakakku. Bumerang itu menjadi penyebab hancurnya rumah tanggaku dengan Nia.
“Nia, berikan kesempatan sekali lagi kepadaku…”, bisikku lirih mengenangnya.
Kuakui, egoku penyumbang terbentuknya karakter Karunia Wijaya sekarang.