Mohon tunggu...
Yunita Kristanti Nur Indarsih
Yunita Kristanti Nur Indarsih Mohon Tunggu... Administrasi - Gratias - Best Spesific Interest - People Choice Kompasiana Award 2022

-semua karena anugerah-Nya-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Nak, Nikmati Dulu Saja Masa Kecilmu Jangan Tergesa-gesa Dewasa

11 September 2020   12:17 Diperbarui: 12 September 2020   01:01 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak laki-laki dan perempuan berjalan bergandengan tangan (Sumber:unsplash.com/annie spratt)

Sependek pengalaman dalam berkecimpung di dunia pendidikan, saya sering mendengar curcolan siswi-siswi yang berusia di bawah 12 tahun yang kerap “nyerempet” masalah-masalah pacaran

Kok siswi? Ya, memang kebanyakan siswi yang curcol, yang siswa masih asyik main bola, dan bermain segudang aktivitas fisik lain bersama teman-temannya.

Miss, si itu udah pacaran, loh...

Miss, tau gak, kalo si ini udah punya pacar…

Perlu dketahui, saya ngobrol dengan anak-anak kelas 5 jenjang sekolah dasar beberapa bulan lalu sebelum pandemi memisahkan siswa dan guru secara ruang, tempat, dan waktu.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Newcastle University mengungkap bahwa kematangan otak pada anak perempuan dan anak laki-laki memiliki perbedaan yang sangat signifikan.

Otak anak perempuan akan mengalami kematangan di usia 10 tahun, sedangkan otak laki-laki harus menunggu hingga mereka berusia 20 tahun untuk mengalami tingkat kematangan yang sama.

Diungkapkan juga bahwa terdapat banyak aktivitas yang terjadi pada otak anak perempuan di usia 10-12 tahun, sedangkan pada otak anak laki-laki baru terjadi pada rentang usia 15-20 tahun.

Secara teoritik yang saya hadapi dalam dunia nyata, memang seirama dengan hal itu, siswi-siswi yang curcol tadi bicara mengenai pacaran di umur yang masih dini, sementara siswa-siswa saya tidak terlalu berpikir ke arah relasi dengan lawan jenis di usia yang sama, dibuktikan pada saat kami bicara dan ngobrol santai untuk mengonfirmasi maksud “pacaran” yang dilaporkan siswi-siswi saya tersebut.

Pendapat sepihak karena aktivitas otak anak perempuan yang lebih dulu matang akan membawa sebuah perbedaan pola pikir yang cukup mendasar. Tak jarang pula hal ini membawa sebuah atau lebih kesalahpahaman.

Sebuah sesi konseling saya dengan mereka membawa sebuah pemahaman dan pengalaman baru, bahwa anak perempuan ini mengharapkan sebuah relasi yang lebih dari sekadar teman biasa, namun demikian sang siswa belum “ngeh” dan masih menganggap pertemanan dan persahabatan yang terjadi di antara mereka seperti layaknya teman biasa saja.

Lain lagi dengan pengalaman yang satu ini. Ada seorang anak perempuan yang dilaporkan oleh teman laki-lakinya karena "risih" dirinya selalu diikuti, selalu di DM (Direct Message), selalu di-WhatsApp, dan merasa “dikejar-kejar” untuk diajak pacaran oleh sang anak perempuan tadi. 

Usut punya usut si anak perempuan ini memendam rasa suka pada teman laki-lakinya, sedangkan teman laki-lakinya tidak berpikir sama sekali ke arah itu (pacaran) dan menganggapnya hanya sekedar teman biasa saja.

Ini merupakan contoh-contoh di lapangan yang saya temukan. Anak perempuan ini telah mengalami sebuah perkembangan pesat dalam area emosi mereka, yang belum dialami oleh teman laki-lakinya, namun demikian memang tidak semua siswi mengalami hal yang sama.

Ada juga anak perempuan yang masih “stay on the track” berteman dengan lawan jenis pada tingkat kewajaran.

Ada beberapa hal yang saya tengarai bisa menciptakan perbedaan antara siswi yang satu dengan siswi yang lain, terutama terkait relasi dengan lawan jenisnya:

Kesepian dan kurangnya bonding (kelekatan) dengan orangtua

Memang sebuah dilema ketika orangtua sibuk dengan pekerjaan sehingga melewatkan bonding ataupun kelekatan dengan anak-anak mereka, sehingga terkadang pantauan akan detil perkembangan mereka pun terluput. Perhatian dan arahan sangat diperlukan, terutama komunikasi dalam masa-masa anak tersebut mendekati usia remaja.

Memberikan sebuah arahan bahwa akan datang sebuah masa di mana mereka akan mengalami ketertarikan dengan lawan jenis mereka, menjadi sebuah hal penting yang tak boleh dihindari.

Komunikasi dua arah antara anak-anak yang telah “siap” memasuki usia remaja sangat dibutuhkan. Misalnya menjelaskan apa itu pacaran, sebaiknya kapan memulai pacaran, lalu apa sih tujuan pacaran, dan ulasan-ulasan yang perlu diketahui anak-anak kita, baik laki-laki maupun perempuan.

Pengaruh tayangan-tayangan yang ditontonnya

Tayangan-tayangan tanpa filter ditengarai menjadi penyebab muncul dorongan untuk mencoba. 

Beberapa waktu lalu, ada seorang anak yang saya jumpai (sekitar masuk jenjang usia 6 tahun) menyanyikan lagu-lagu bertemakan cinta dan seputar relasi lawan jenis. Kosa kata yang digunakan dalam lagu-lagu yang dia nyanyikan, saya yakini belum dipahaminya 100%, tetapi begitu fasih dan intens lagu itu dinyanyikan.

Itu baru lagu, ada juga tayangan-tayangan dewasa lain yang kerap ditonton oleh anak-anak yang usianya masih terlalu dini dikarenakan tak ada filter dalam bentuk pengawasan atau arahan.

Tayangan-tayangan ini bisa menjadi sebuah dorongan pada anak untuk ikut melakukan. Secara alam bawah sadar tayangan-tayangan yang lebih dewasa dari usia si anak menjadi sebuah kekuatan yang menyetir pikiran, perasaan, dan perilakunya.

Faktor fungsi dan peran ayah di dalam keluarga

Faktor yang ketiga terkait pola pengasuhan dengan fungsi dan peran ayah dalam keluarga. Banyak sekali kasus-kasus yang saya jumpai dipengaruhi oleh “ketidakhadiran” fungsi dan peran ayah dalam kehidupan keluarga terutama untuk perkembangan anak perempuan terkait masalah-masalah relasi dengan lawan jenis di usia yang belum memadai.

Faktor pekerjaan ayah dengan ragam kesibukannya menjadi sebuah titik dilematis memang. Tak bisa menyalahkan juga, karena kondisi yang terkadang menuntut hal ini harus dilewati oleh sebuah keluarga karena deraan ekonomi.

Ketiga faktor ini merupakan sebuah analisa yang saya bisa kemukakan terkait fenomena yang terjadi di sekitar kita. Mereka memilih untuk mencari “perhatian” dari luar, dalam hal ini teman-teman laki-laki yang ada dalam pikiran mereka.

Pendampingan yang cukup dan pemahaman yang benar mengenai relasi dengan lawan jenis harus diupayakan sedemikian rupa untuk mereka.

Mengambil waktu-waktu khusus untuk sekedar ngobrol seputar dunianya sangat dianjurkan. Jangan berperan sebagai orangtua yang menyelidik disini, tapi lebih sebagai teman curhat mereka.

Hindari menyalahkan mereka atas ungkapan kejujuran perasaan yang mereka alami saat itu. Berikan kenyamanan pada mereka saat mereka menumpahkan isi hati mereka.

Berikan pemahaman pada anak perempuan Anda, bahwa mereka sangat berharga, sehingga mereka harus menjaga kehidupan mereka terkait relasi mereka dengan lawan jenisnya.

Semoga bermanfaat.

Referensi : 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun