Kasus perceraian mengalami peningkatan sepanjang tahun 2020.
Bukan berita yang sedap didengar, miris sekali mengetahui hal ini.
Berita dalam tayangan-tayangan media menginformasikan sejumlah kenaikan fenomena kasus perceraian. Laman Republika.co.id (27/08/2020), contohnya, Â memberitakan beberapa bulan lalu, dalam satu bulan ada pendaftaran gugatan perceraian sebanyak 800 kasus di PA Soreang!
Senada dengan hal itu, laman Kompas.com (14/04/2020) juga memberitakan hal yang sama mengenai peningkatan fenomena kasus perceraian di China.
Ternyata bukan hanya area bisnis dalam perusahaan-perusahaan saja yang harus bertahan dalam badai sebagai akibat pandemi, terlebih lagi juga ada banyak rumah tangga-rumah tangga yang sedang mengalami keterpurukan  dan akhirnya diantaranya memutuskan untuk berpisah melalui sebuah sidang perceraian.
Sebuah tantangan yang besar dalam pandemi di tahun 2020 ini.
Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat juga harus mengalami sebuah perjuangan. Â Tekanan demi tekanan yang dihadapi dalam hal mental-psikologis, ekonomi dan tantangan-tantangan lainnya menjadi sebuah pemicu retaknya, pecahnya relasi pernikahan.
Kejenuhan dalam menghadapi masa-masa sekarang ini ditengarai juga sebagai sebuah hal yang memberikan motivasi perceraian yang terjadi dalam banyak rumah tangga.
Beberapa pemberitaan juga menginformasikan ada latar belakang KDRT(Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dalam pengajuan beberapa kasus perceraian. Buah pahit tekanan-tekanan tadi melahirkan baku hantam baik secara verbal maupun fisik dalam relasi pernikahan
Rumah tangga yang sempurna, saya yakini tidak ada dalam dunia ini! Hanya sebuah imajinasi tingkat dewa belaka.
Dipastikan perselisihan pasti ada. Pertikaian juga pasti tak jarang. Perbedaan pemikiran pasti menjadi sebuah aroma-aroma tersendiri dalam rumah tangga pasutri.
Kesalahpahaman menjadi sebuah bumbu-bumbu dalam sebuah biduk rumah tangga. Badai kecil atau badai hebat pasti pernah terjadi dan menghampiri sebuah rumah tangga.
Saya tidak akan menggurui para pembaca semua yang lebih berpengalaman dan mumpuni dalam membina rumah tangganya. Apalah saya yang baru menapaki usia pernikahan seumur jagung, jelas masih butuh perjuangan panjang dan bimbingan, serta teladan dari rekan K semua.
Kintsugi adalah sebuah seni penggabungan tembikar dengan menggunakan emas.
Saya hanya hendak membagikan sebuah filosofi yang sangat bagus dan menarik bagi saya terkait relasi dalam pernikahan. Filosofi yang saya ambil ini adalah dari sebuah seni penggabungan tembikar yang telah pecah menggunakan emas di Jepang, KINTSUGI.
Negara Jepang terkenal dengan berbagai seninya yang unik, keren, dan mantul. Sebut saja Origami, ada Ikebana, dan Kintsugi.
Kintsugi berasal dari kata Kin yang berarti emas dan tsugi yang berarti penggabungan.
Tembikar atau keramik yang pecah tidak dibuang di negara ini, tetapi digabungkan dengan menggunakan emas, dan akhirnya lahir sebuah seni kriya baru dan tak kalah unik yang lebih bernilai.
Layaknya rumah tangga yang mengalami kehancuran, saya merenungkan, ada hal berharga yang harus dipertahankan sehingga hal itu akan menjadi sesuatu yang bernilai dan menjadi berkat untuk orang lain.
Memulihkan kondisi sebuah relasi sama seperti menggabungkan kembali keramik atau tembikar yang telah pecah menggunakan emas sebagai media penggabungnya.
Nah, emas dalam memulihkan kondisi rumah tangga yang hancur saya analogikan sebagai komitmen (seperti yang disarankan juga dalam laman Kompas.com) Â yang menjadi sebuah tujuan pernikahan dan kasih mula-mula yang ada sejak awal pernikahan dibangun.
Betapapun hancurnya relasi pernikahan, ingatlah, bahwa komitmen dan kasih mula-mula yang dipakai sebagai pengikat dua insan yang berbeda, menjadi sebuah kunci pemersatu dalam bahtera rumah tangga yang kita bangun.
Kintsugi, seni menggabungkan keramik pecah dengan emas menjadi sebuah filosofi menarik yang saya analogikan dalam proses memulihkan sebuah relasi pernikahan.
Kintsugi mengajarkan saya bahwa luka atau pecahan-pecahan yang terjadi bisa menjadi sebuah hal yang bernilai ketika mengalami sebuah PEMULIHAN.
Saya tertarik sekali dengan kata pemulihan. Untuk memulihkan sebuah hubungan yang telah rusak perlu mengingat kembali sebuah tujuan pernikahan dalam satu kata yang bernama komitmen, serta kasih mula-mula yang telah menjadi pondasi berdirinya sebuah rumah tangga.
Penaklukan diri pada ego masing-masing dibutuhkan. Mengalahkan ego untuk sebuah keutuhan menjadi titik penting.
Memang tidak bisa satu pasangan saja yang berjuang, dibutuhkan keduanya untuk bersama-sama berjuang.
Tidak ada kata tidak bisa selama kita masih diberi kesempatan untuk hidup oleh Sang Pencipta.
Pernikahan kita akan menjadi sebuah seni Kintsugi yang bernilai. Bernilai bagi kita dan terlebih lagi orang lain.Â
Keluarga adalah harta yang paling berharga melebihi apapun di dunia ini.
Selamat berjuang dan menjadi inspirasi serta teladan yang bernilai seperti sebuah seni yang bernama Kintsugi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H