“Kanti, ini Pak Darminto yang tadi Eyang ceritakan. Mas Darmin, ini Kanti, cucuku yang kerja jadi reporter TV di Jakarta itu lo....”
Aku agak terkejut. Tapi tetap berusaha tersenyum membalas uluran tangan pria tua tersebut.
Selama sepuluh menit aku menghabiskan es teh dan berbicara hangat dengan pasangan tua itu. Aku telah mendapat kesan kuat bahwa Pak Darminto adalah pria yang baik. Sekarang rupanya dia menjadi dosen di UNS.
Aku pamit, meninggalkan pasangan itu untuk berbincang secara pribadi. Membiarkan mereka merajut kembali benang-benang kasih yang pernah terurai oleh keadaan puluhan tahun yang lalu.
Dalam becak yang membawaku ke rumah Eyang aku merenungkan kembali hidupku. Banyak pria yang mendekatiku, beberapa coba kuterima ajakannya jadi pacar. Tapi hatiku belum merasa yakin pada satu pria. Aku bertekad akan menunggu. Sampai kutemukan pria yang kuyakini janjinya. Janji yang teruji oleh waktu dan keadaan. Saat ini yang kutemukan hanya pria-pria pengobral janji. Janji yang mudah terucap hanya sekedar untuk menaklukanku.
Teringat aku akan kata-kata yang sempat Pak Darminto lontarkan di warung soto tadi.
“Bagi saya, ajining diri iku ana ing lathi, artinya harga diri itu ada pada mulut, mulut yang tidak asal berucap. Mulut yang mengucapkan janji harus berusaha memenuhinya, walaupun harus menanti selama apa pun itu.”
****
1) Inggih:iya.... 2) Nduk:kependekan dari gendhuk, panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa Jawa. 3) Putuku sing tak tresnani:cucuku yang kusayangi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H