Jika guru dan siswa berkelanjutan menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing sebagai bahasa pengantar pendidikan, kemungkinan yang akan terjadi adalah kecenderungan masyarakat untuk berkelompok atas dasar kesamaan bahasa.Â
Bahasa Indonesia bisa hilang karena bahasa daerah pasti akan digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari di rumah, lingkungan pertemanan, dan lingkungan pendidikan.
Menghilangkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar memberi kesan bahwa tidak ada bahasa pemersatu dalam pendidikan dan memudarkan nilai bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Â
Adanya konflik berbahasa juga rawan terjadi dan menimbulkan sifat etnosentrisme. Jika sudah begitu, individu akan berpandangan bahwa bahasa dan kebudayaannya lebih baik dari yang lain.
Padahal bahasa Indonesia dalam ranah pendidikan berperan sebagai alat komunikasi yang efektif dan efisien, bukti rasa cinta terhadap bangsa, sekaligus menjadi identitas negara.
Bahkan dalam rumusan kompetensi dasar di sekolah yang dikembangkan pada mata pelajaran bahasa Indonesia terdiri atas tiga hal penting yang berkesinambungan dengan bahasa. Tiga hal tersebut adalah bahasa, sastra, dan literasi.
Sebelum RUU SISDIKNAS 2022 terealisasi, pemerintah perlu mengkaji ulang dan menimbang pentingnya aturan mengenai bahasa pengantar pendidikan karena keputusan pemerintah akan berdampak terhadap keberlangsungan proses pendidikan di Indonesia.
Jangan sampai disebabkan satu pasal yang hilang, menimbulkan berbagai permasalahan. Sudah seyogianya sebagai warga negara Indonesia menjunjung tinggi bahasa Indonesia dan tidak melupakan perjuangan serta upaya para pemuda mengutuhkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa dalam sejarah Sumpah Pemuda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H