Siang itu, setelah sekian lama menghadapi tumpukan soal-soal yang membuat pusing kepala. Narendra atau lebih dikenal dengan panggilan Naren, remaja laki-laki yang menikmati es tehnya di kantin sekolah, merasa bebas. Ujian sudah berakhir, terima rapot, lulus dari SMA, ikut SBMPTN dan kuliah.Â
Sambil menikmati es teh yang 50%nya adalah es batu, Naren berangan-angan akan berkuliah di tempat terbaik. Dia sudah berusaha belajar pagi siang malam untuk mendapatkan hasil yang diinginkan sampai sakit tipes.Â
"Woi! Naren, apa kabar bro? " Sapa Juan, sahabat Naren dari dalam kandungan sampai sekarang dan juga tetangganya. Naren menoleh dan berkataÂ
"Baik, syukur sampai detik ini gue masih bisa napas, " yang dibalas anggukan dari temannya.
Juan kembali berkata setelahnya "Besok terima rapot kan ya? Yang jadi wali lo nanti siapa? "Â
Naren berhenti menyeruput minumannya, dan terdiam sejenak, ia terlihat berpikir, "Iya juga ya, ayah sibuk kerja, kalau ibu gue nggak punya, duh gimana ya? "
Mereka bertatapan cukup lama, memikirkan jalan keluar, "Oh iya! Kenapa lo nggak minta guru matematika kita, kan dia tetangga kita juga, yang suka ngasih makan kita-kita yang miskin ini, bu.. bu apa sih namanya, Bu Oni bukan? " Ucap Juan.Â
"Oni mah yang masak di warung kantin Juan, guru matematika kita itu Bu Ina. " Balas Naren.Â
"Nah iya, maaf lupa, maklum faktor D, alias dosa hehehe, " Juan hanya terkekeh sambil tersenyum polos yang hanya di angguki oleh Naren.Â
Istirahat telah berakhir, Naren berjalan menelusuri lorong-lorong sekolahnya, menuju lab kimia untuk mengambil buku yang tertinggal, ralat, ditinggal oleh Juan saat ia menitipkan bukunya untuk pergi ke toilet.Â
Naren melihat Bu Ina, guru matematikanya baru saja keluar dari kelas lain. Teringat akan ucapan Juan, ia segera menghampiri guru tersebut, "Bu Ina! Bu saya mau tanya, " ucapnya setelah sampai di depan Bu Ina.Â
"Iya? Kenapa Nak Naren? Ada perlu apa?" Tanya Bu Ina, dengan ramah.Â
"Begini bu, besok terima rapot kan ya?....
" Ucap Naren yang diangguki oleh Bu Ina, "Trus, ayah saya kan sibuk banget nih bu, ibu mau nggak gantiin ayah saya jadi wali? Saya nggak tau mau minta tolong siapa lagi bu, masa saya harus bayar orang buat jadi wali saya? " Lanjutnya.Â
Bu Ina hanya tertawa dan berkata "Bilang atuh Na, iya nanti ibu bisa jadi walimu, udah tunggu aja besok, ibu bakal datang gantiin bapakmu yang sibuk itu. " Naren tentu senang dan berterimakasih kepada guru sekaligus tetangganya itu, itulah manfaatnya suka main ke rumah tetangga untuk minta Wi-Fi, hubungan semakin erat layaknya keluarga.Â
Misi selesai, tinggal tunggu besok.Â
Dan di keesokannya harinya, di rumah Naren dan keluarga, Ayah Naren dan Naren yang merupakan anak tunggal, sedang menghabiskan sarapan di meja makan. Sang ayah yang selesai makan terlebih dahulu bertanya pada anaknya, "Kamu hari ini terima rapot ya Na? Maaf ayah tak bisa datang karena ada pertemuan dengan kolega ayah. "
Naren meneguk habis minumnya dan menjawab dengan senyuman terpatri diwajahnya, "Tak apa, Naren tau ayah sibuk, jadi Naren minta tolong pada tetangga kita Bu Ina. "
"Baiklah, jangan lupa untuk berterimakasih padanya, ayah pergi dulu, sekali lagi maafkan ayah, Na. " Ayah Naren pun bangkit dari duduknya dan berangkat untuk bekerja.Â
Selang beberapa menit kemudian, ia sampai di sekolah, berjalan menelusuri lorong sekolah sambil menikmati kondisi sekolah yang masih terbilang sepi. Tiba-tiba ada monyet memegang pundaknya membuat sang empu terkejut, "Halo kawan, " oh bukan, itu bukan monyet tapi Haikal, temannya.Â
"The sunrise is beautiful, isn't? " Ucapnya pada Naren, sok bahasa Inggris.Â
"Iya, tadi bagus, tapi setelah lo tiba, jadi suram" Balas Naren dan pergi meninggalkan Haikal yang menatapnya sinis.Â
Kelas Haikal dan Naren itu bersebelahan, sedangkan Naren dan Juan itu sekelas. Jadi, bila ingin bermain bersama, tinggal jalan sebentar saja.Â
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 pagi, masing-masing walikelas datang dan siap memberi rapot hasil perjuangan murid-muridnya, para orang tua murid pun sudah banyak yang datang. Begitu pun dengan Bu Ina, yang kebetulan sedang tidak terlalu sibuk.Â
Saat nama Narendra Drayasa terpanggil, Bu Ina langsung berdiri dan maju ke depan. Naren menatap guru sekaligus tetangganya itu sedang membuat wajah terkejut dengan alis mengkerut.Â
Setelah beberapa menit, Bu Ina mendatangi Naren dan mengajaknya untuk pulang. Tapi Naren menolak dan meminta untuk melihat hasil rapotnya terlebih dahulu, baru ia mau pulang. Dengan terpaksa, Bu Ina memberi rapot tersebut padanya.Â
Naren membuka rapotnya, lembar demi lembar dan melihat hasilnya. Dia terdiam, bagaimana tidak? Semua mata pelajaran yang ia pelajari dapat C, dan hanya ada 1 yang dapat B.Â
Ryan yang merupakan teman sekelas Naren bersama Juan, mengintip isi rapotnya berkata, "Buset Na, Nilai lo C semua, lagian sih lo disuruh bikin sejarah malah pake rumus fisika, ya gitu tuh. " Ucap Ryan dengan nada ketus.Â
"Tau tuh, disuruh bikin matematika malah nulis gombalan, tapi nggak apa-apa Na, nilai lo nggak ada yang D, aman." Lanjut Juan.Â
"Iya, " Naren hanya menganggukkan kepalanya dan berjalan keluar kelas untuk pulang, disusuli oleh Bu Ina.Â
Diperjalanan, Bu Ina meminta agar mampir ke taman kota. Mereka duduk di kursi taman sembari menikmati pemandangan sekitar.Â
Tiba-tiba Bu Ina berkata pada Naren, "Nilai tidak menentukan bagaimana dirimu, Na. Kamu tidak bodoh, kepintaran yang ada dalam dirimu itu tidak berdasarkan nilai yang kamu dapatkan. Tak apa mendapatkan nilai rendah, asal kamunya tetap berakhlak mulia. "
"Ibu benar, tapi gimana cara Naren jelasinnya ke ayah? Ayah pasti kecewa, bu, " Naren menunduk untuk menutupi raut wajah kesedihannya.Â
"Nak Naren tenang saja, ibu bakal bicara ke ayahmu, sekarang kamu fokus buat daftar kuliah nanti, ibu yakin kamu bisa, nak, " yakin Bu Ina.Â
"Kalau aku nggak bisa gimana, bu? Nggak ada harapan lagi buat aku, " ucap Naren, pesimis.Â
"Kamu belum nyoba, kok udah ngomong gitu aja? Ibu yakin kamu bisa, ibu mau nanti kalau kamu berhasil, kunjungi ibu dan buat ibu bangga sama kamu, bila kamu merasakan hari-hari yang buruk dan sulit, ingat bahwa hari itu tidak akan datang lagi, " Bu Ina mengusap kepala Naren, menenangkan anak tersebut.Â
Naren hanya menganggukkan kepala, tanda ia mengerti dan mereka kembali pulang ke rumah.Â
Hari demi hari berlalu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, tak terasa sudah 5 tahun waktu tersebut berlalu. Kini, anak laki-laki yang selalu menyedot es teh di kantin telah menjadi seorang pengusaha sukses.Â
Saat ini, ia sudah menyelesaikan semua pekerjaannya, agar bisa mengambil cuti dan kembali ke kampung halamannya yang sudah 3 tahun ia tinggalkan.Â
Namun, tiba-tiba ia mendapat panggilan suara dari Bang Mahen, anak Bu Ina gurunya dahulu. Naren mengangkat panggilan tersebut, Bang Mahen berkata, "Na... kapan balik? Katanya mau kesini, ayo cepat balik Na, ibu udah nggak ada, abang mau kamu liat ibu dulu sebelum dikebumikan. "
Tanpa disadari, Naren menangis karena gagal memperlihatkan dirinya yang sukses dihadapan guru tersayangnya, maaf bu, jasamu akan ku kenang dan akan ku ceritakan kepada keturunanku nanti, betapa hebatnya dirimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H